“Sampai kapan mau diem?”
Dan lagi, aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai jawabannya. Laki-laki yang hingga detik ini belum kuketahui namanya, selalu mengajakku mengobrol.
“Kamu tau, kamu harus berteman dengan langit malam.” Tanpa kusadari, alisku naik sebelah saat dia mengucapkan itu.
Hal yang menarik.
“Kenapa?” tanyaku dan itu membuatnya tersenyum lebar. Walau aku membelakanginya, aku masih dapat menatapnya dari samping. Dia dan aku sedang duduk di atas kasurku. Dia, sejak melepas pelukannya, selalu menatap ke arah luar jendelaku. Menatap langit yang bertemankan bulan malam ini.
“Langit malam selalu kelam.” Jawabnya seraya menunjuk ke atas, dan aku hanya dapat melihatnya melalui bayangannya. Aku tak ingin melihat pemandangan yang sama dengannya.
“Seperti manusia.” Entah angin apa yang membuatnya membalikkan badannya, dan kini dia menatapku dari samping. Dengan posisi dan pemandangan yang sama.
“But, just still believing, the moon and stars always with you. Maybe they’re was gone, but they’ll comeback.”
“Dan, kamu bulannya?”
“Bukan. Aku bintang.”
“Kenapa?”
“Karena aku datang dari suatu tempat yang jauh.”
“America?”
“No.”
“Russia?”
“More far,”
“Greenland?”
“Jadi, kamu berasal dari?”
“Afterlife.”
Aku tersedak saat ia mengucapkan kata itu.
“Good jokes, dude.”
Aku tertawa sedikit keras saat mendengar leluconnya.