Sanguine

Zsaruma
Chapter #6

#6 Hantu

Aku tak mengerti mengapa Alska memelukku sangat erat pagi ini, beberapa orang asing yang tak kukenali berada dalam satu ruangan yang sama denganku.

Aku dapat mendengar, Alska menangis sangat kencang, seolah ada seseorang yang jahat menyakitinya, dan orang-orang menatapku dengan tatapan antara lega dan kasian.

Aku sama sekali tidak mengerti dengan keadaan ini, sampai aku melihat seluruh isi kamarku berantakan, dan obat-obatan itu berserakan.

“Aku baik-baik aja, Ska.” Ucapku selagi mengelus punggungnya.

“Kamu nggak pernah baik-baik aja sejak di sini, Mara. Tapi… bukan ini caranya!” dia benar-benar menangis selagi mengucapkannya, bahkan aku merasakan basah di bahuku.

“Aku baik-baik aja.” Ucapku sekali lagi berusaha menyakinkannya.

“Kamu harus tinggal sama aku untuk sementara waktu, rumah ini… mengerikan.”

Aku menatap wajahnya yang penuh dengan kekhawatiran dan air mata. Aku tidak tahu apakah itu adalah pilihan yang bagus atau tidak. Tapi, melihat wajah yang selalu lelah itu menangis. Aku merasa tidak ada pilihan selain menjawab,

“Ya.”

###

“Kenapa kamu nggak beli rumah yang lebih bagus dari ini?” tanyaku setelah melihat-lihat ke dalam rumah Alska dan Nia, lebih tepatnya rumah peninggalan Ayah Alska. Kami duduk di teras rumah sambil menatap kebun milik mereka berdua.

Dalam beberapa jam berada dalam rumah peninggalan Ayah Alska, Aku tersadar akan satu hal tentang perempuan itu.

Sebanyak apapun uang yang ia hasilkan, Alska tidak berniat membeli barang baru. Rumahnya masih sama seperti beberapa tahun yang lalu aku kunjungi.

Kebun kecil di depan halaman, tembok bercat hijau yang sudah mengelupas, kasur lipat di kamar perempuan itu. Hampir seluruh isi rumah ini tidak ada yang diganti.

Padahal, Alska bekerja di kebun milik Nenekku, dan sekarang kebun itu menjadi milik kami berdua.

Bukankah dia menghasilkan uang lebih dari yang dapat kubayangkan? Setidaknya, dia perlu untuk mencat ulang rumah ini, atau mungkin mengganti kasur lipatnya dengan kasur yang lebih baik kualitasnya.

Seperti biasa, dia tersenyum dan memandang ke depan sebelum menjawab pertanyaanku.

“Pertama, aku merasa itu nggak perlu. Kedua, barang-barang dan rumah ini masih layak menurutku, dan ketiga, aku nggak tau barang-barang yang berkualitas.”

“Kayaknya, poin ke tiga lebih dominan.” Ucapku dan kami sama-sama tertawa.

Aku tertawa sangat lepas, padahal itu hanya obrolan biasa yang bahkan tak lucu sama sekali. Aku sangat merindukan tertawa bersamanya, dan biasanya kami juga tertawa bersama Nenek.

“Kenapa kamu coba minum obat itu?”

Seketika, tubuhku membeku. Aku benar-benar terkejut ketika dia menanyakannya. Kupikir, dia tidak akan berani menyakan hal itu sampai beberapa hari ke depan.

Aku menunduk dan berkata, ”Terkadang, aku berpikir, kalo aku nggak berguna. Nyusahin banyak orang. Aku nggak mau ngerasa sedih lagi. Aku nggak mau menderita lagi. Tapi aku nggak bisa bohong terus-terusan ke diri aku sendiri, kalo semua akan baik-baik aja. Aku tau, aku nggak baik-baik aja selama ini. Senyum yang selama ini aku buat itu palsu, tawa yang keluar juga sebenarnya tawa suram, aku palsu selama ini. Dan Nenek nggak tau itu… ”

“Apa kamu yakin?” tanya Alska skeptis.

“Pernah nggak, sih, kamu mikir buat apa hidup itu?” tanyaku sebaliknya.

“Kayaknya, setiap manusia yang hidup dan bergerak di bumi, nanya hal yang sama kaya kamu.” Jawab Alska simpel.

“Jadi, alasan kamu apa?” tanyaku lagi penasaran

“Klise. Aku mau ketemu sama jodohku.” Simpel. Mungkin itu hal yang hampir diharapkan seluruh orang di dunia ini.

“Kalo kamu nggak nemu jodoh kamu. Kamu bakalan bunuh diri kamu?” tanyaku lagi.

Dia tertawa kecil, dan tiba-tiba mengacak-acak rambutku. Pertama kalinya perempuan berusia dua puluh satu tahun itu mengacak-acak rambutku.

“Aku punya banyak keinginan. Bunuh diri nggak pernah jadi salah satu jalan mencapai itu.” Jawabnya dengan senyuman kecil.

“Tapi, aku nggak punya keinginan.” Keluhku.

“Kamu punya, Cuma… keinginan kamu terlalu sulit untuk dicapai.” Alska menatap tepat ke mataku dan tersenyum, seolah dia berusaha menyakinkanku bahwa aku memiliki keinginan, sama seperti banyak manusia di luar sana.

“Gimana dengan bumi? Bukannya kalo kamu semakin lama hidup, semakin banyak polusi, sampah, bahkan limbah yang kamu hasilkan.” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di pikiranku. Terkadang aku berpikir aku sama sekali tidak berguna, bukan hanya kepada manusia tetapi kepada bumi juga. Aku hanya akan semakin merusak bumi jika terlalu lama menghirup oksigen.

“Kalo begitu, kamu harus belajar cari jalan keluar buat ngatasin masalah polusi, sampah, dan limbah yang dihasilkan manusia.”

“Gimana dengan orang-orang yang tersiksa, seperti diculik, dibunuh, diperkosa? Bukannya bunuh diri adalah pilihan tepat untuk itu.” Aku pernah membayangkan berada di posisi diculik dan aku benar-benar disiksa, bukankah lebih baik aku segera membunuh diriku sendiri daripada aku terbunuh oleh orang-orang yang menyiksaku. Untuk pertama kalinya, aku menyadari bahwa bunuh diri tidaklah seburuk itu.

“Manusia itu mahluk sosial, jika kamu merasa frustasi baca berita seperti itu, kenapa nggak coba jadi aktivis?” Alska masih bersihkeras dengan pendapatnya, bahwa bunuh diri bukanlah jalan yang tepat untuk dilewati.

“Ya, dan kamu berakhir dengan poster ‘Orang Hilang’ di kantor polisi.” Candaku.

“Setidaknya kamu berjuang mengungkap kebenaran, bukan?” tanya Alska lagi.

“Aku nggak merasa itu hal yang harus kulakukan.” Entahlah, aku merasa terlalu banyak kebenaran yang ditutup di dunia ini. Berusaha mengungkap kebenaran dengan sendirian atau kelompok kecil sama saja dengan membunuh dirimu. Tidak, dibunuh dan membunuh beda bukan?

“Memang. Maksudku… selalu ada pilihan di antara pilihan. Tidak ada alasan mengapa bunuh diri adalah hal yang tepat.” Nada suara Alska mulai tidak yakin.

“Instan sebenarnya.” Akhirnya aku menyanggah ucapannya.

“Aku tak merasa bunuh diri itu instan. Satu detik bagaikan satu menit, satu menit bagaikan satu jam. Aku tak yakin, aku sanggup melakukannya.” Kulihat Alska menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali.

“Hmm, ngomong-ngomong, aku nggak minum obat itu.” Ucapku menganti topik. Sedikit kuakui, ucapannya ada benarnya juga.

Seperti yang sudah kuduga, matanya membulat, alisnya sedikit naik, dengan wajah curiga, dia bertanya sekali lagi kepadaku.

“Kamu bercanda ‘kan?”

“Serius, aku nggak minum obat itu. Satu kapsul pun.” jawabku jujur.

Dia menganggukan kepalanya beberapa kali sebelum mengajakku ke rumah sakit untuk mengunjungi Ibunya.

Dan aku mengikutinya. Daripada aku tidak tahu harus melakukan apa di rumah ini.

Kami menaiki mobil berwarna dark brown mica metallic-mobil yang biasanya digunakan untuk keperluan kebun, Alska yang mengendarainya.

Selama di perjalanan, dia bernyanyi lagu-lagu kesukaanya, mencoba menghibur diriku yang hanya tersenyum menanggapinya.

Perjalanan menuju rumah sakit memakan waktu sekitar 30 menit, tapi rasanya seperti sudah berjam-jam aku menghabiskan waktu di dalam mobil, karena Alska benar-benar berisik dan itu menggangu ketenanganku.

Saat kami sampai di rumah sakit, Alska segera memarkirkan mobilnya, dan setelahnya kami keluar dari mobil lalu berjalan masuk ke lobi utama rumah sakit.

Setelah masuk, aku melihat banyaknya orang duduk di kursi yang sudah disediakan. Entah itu anak kecil, ibu hamil, lansia, dan sepertinya aku mengenali seseorang yang sedang duduk sendirian.

Dengan hoodie abu-abu, jeans berwarna hitam, dan sepatu berwarna merah.

Hanya dengan pakaian itu, aku merasa sangat mengenali orang itu. Mungkin, ini hanya kebetulan aku bertemu dengan laki-laki itu lagi.

Aku mengatakan kepada Alska bahwa aku akan segera menyusul dan mencari alamat kamar Ibunya dirawat. Agar ia bisa pergi lebih cepat menemui Ibunya.

Alska mengiyakan dengan cepat, dan mengingatkanku agar tak menghilang apalagi mencoba melakukan apa yang terakhir kulakukan di malam hari.

Setelah Alska semakin menjauh, aku berjalan mendekati orang yang berpakaian mirip dengan laki-laki itu.

Aku berharap bahwa orang itu adalah laki-laki yang ‘menyelamatkanku’ semalam.

“Hei.” Orang itu menolehkan wajahnya menatapku, dan kami sama-sama terkejut.

Mata sipit berwarna coklat, dengan alis tebal, dan bibir yang pucat.

Itu dia!

“Hei!” dia tersenyum lebar saat mengenali wajahku.

“Apa yang kamu lakukan saat senja begini?” aku segera duduk di kursi sebelahnya.

“Kembali mengingat dimana terakhir kali aku bernapas.” Jawabnya santai.

Jujur, candaan itu sedikit menakutkan bagiku, tapi aku berusaha mengabaikannya.

“Hahaha, boleh juga.” Tawaku pasti terdengar kaku olehnya.

“Hei, aku beneran.” Ucapnya kesal.

“Kalo kamu hantu, seharusnya aku nggak bisa liat kamu. Aku bukan anak indigo.” Ucapku, menjelaskan alasan mengapa aku tak mempercayainya.

“Kalo aku manusia tulen, seharusnya aku bisa ngobrol sama orang lain.” Dia meniru nada dari kalimat yang kuucapkan sebelumnya.

“Ya, kamu kan cuma diem di sini.” Aku tetap bersihkeras pada pemikiranku bahwa aku tidak dapat melihat hantu. Aku tidak bisa melihat hantu sampai sekarang!

Aku tidak tahu apakah dia kesal atau marah saat dia tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekati kerumunan orang-orang tak jauh dari tempatku duduk.

Dia mencoba menyapa orang-orang di ruangan ini, tapi tidak ada satu pun yang meresponnya. Mulai dari anak kecil, lansia, pria, wanita. Tidak ada yang menjawab sapaanya.

Jadi, dia berjalan kembali ke arahku dan duduk di sampingku lagi. Dengan wajah yang lelah dia berucap, “Aku hantu.”

Lihat selengkapnya