11.25 AM
Alska memarahiku karena aku keras kepala ingin pergi ke toko buku. Sebenarnya, ia tidak akan memarahiku jika aku pergi sekitar jam tiga sore, tapi aku menginginkannya sekarang.
Karena aku bosan. Ya, di rumah Alska benar-benar membosankan. Tidak ada buku baru lagi, tidak ada alat-alat baru, semuanya barang-barang lama. Dan aku sudah mencoba semua perabotan di rumah Alska.
Lagipula, biasanya aku berpergian sendirian karena Nenek tidak lagi sanggup berpergian jauh, dan Alska semakin jarang ke toko buku karena harus mengurus Nia. Mungkin, Alska masih tidak mempercayaiku. Bahwa aku tidak akan melakukan percobaan bunuh diri lagi dalam waktu dekat.
Perempuan itu kalau sudah repot, terkadang menyebalkan.
Beruntungnya, dia segera menyelam sendirian saat di dalam toko buku, dan aku ditinggalkan.
Baik aku, Nia, dan Alska. Kami bertiga sebenarnya sering mengunjungi toko buku, tapi sejak Nia harus menjalani cuci darah. Kami tak memiliki banyak waktu untuk melakukannya bersama lagi.
Yang kulakukan dengan Alska hari ini sebenarnya pelanggaran. Tetapi, sepertinya Nia tidak akan merajuk hanya karena kami ke toko buku tetapi, aku tidak tahu setelahnya.
Aku segera menuju rak buku fiksi.
Aku selalu menyukai novel. Walaupun hampir seluruh kisah di novel adalah khayalan, setidaknya aku merasakan kehidupan yang sedikit nyata melalui cerita-cerita di novel.
Aku berkeliling, mulai dari novel yang diletakkan dalam posisi tertidur, sampai yang terbungkus rapi di dalam rak. Dan aku terpaku menemukan buku yang sedikit menarik untuk dibaca sebentar.
Judul buku itu ‘Hujan’ karya Tere Liye. Ya, siapa yang tidak tahu karya dia yang satu ini?
Aku juga sudah membaca karya-karyanya yang lain; dan novel kesukaanku tetap tidak berubah. Aku sangat menyukai karyanya yang berjudul ‘Bumi’ dan kelanjutan dari judul novel itu.
Setelah dipikir berulang-ulang, aku memutuskan untuk membaca ‘Hujan’ dan berjalan sedikit, mencari tempat tenang untuk membacanya.
Saat sedang mencari tempat, aku melihat seseorang sedang melakukan gerak-gerik yang mencurigakan bagiku.
Orang itu mungkin sedang membaca buku, tetapi apakah membaca buku seperti menempelkan buku itu?
“Permisi…” Ucapku pelan. Aku tidak bermaksud menggangu aktivitasnya yang sedang ‘membaca’ buku, tapi dia menghalangi jalanku.
Orang itu sedikit menurunkan buku yang sedang dibacanya, walau sedikit ragu, aku merasa seperti mengenali orang itu.
“Permisi.” Ucapku sekali lagi, dan terdengar sedikit keras. Aku kesal, dan aku memandangi orang itu dari atas sampai ke bawah.
Sepatu berwarna merah dengan jeans hitam dan… apakah jaketnya berwarna abu-abu? Ataukah putih?
Aku segera menggelengkan kepalaku. Itu tidak penting.
Karena kekesalanku semakin memuncak, aku memilih memutar badan dan berjalan berbalik.
“Apakah itu karya Tere Liye?”
Mendengar suara orang itu, tanpa sadar mataku membulat, dan aku berbalik.
Kini, aku dapat melihat dengan jelas orang itu. Hoodie abu-abu, mata sipit, alis yang tebal, dan bibirnya yang sedikit pucat.
Sontak saja, rasa kesalku tergantikan, aku langsung tersenyum dan berkata, “Hei.”
“Hei.” Balasnya dengan senyum manisnya.
Dan itu pertama kalinya dia tersenyum seperti itu kepadaku.
Aku berjalan ke arahnya dengan senyum ceria, padahal baru tiga hari aku tidak melihatnya.
“Apa itu karya Tere Liye?” Tanyanya ulang sambal menunjuk buku yang ada di tanganku.
Aku melihat novel yang ada di tanganku, “Ya, kenapa?” tanyaku.
“Itu buku terindah yang pernah kubaca.” Ucapnya lagi.
“Oh, ya? Kenapa?” tanyaku penasaran, tak lama aku memeriksa novel berjudul ‘Hujan’ tersebut.
“Endingnya… aku nggak pernah nyangka.” Jawabnya, dan dia mengambil buku itu dari tanganku.