Aku menganti pakaianku dengan baju tidur.
Rasanya sedikit lega, hujannya hanya sebentar. Jadi, aku tidak perlu menunggu lama, dan membuang-buang waktuku menatap hujan—yang sepertinya tidak kusukai.
Aku menatap novel yang baru saja kubeli, membukanya dengan cepat, dan menutupnya kembali.
Menaruh novel itu di dekat bantal. Aku tidak mood untuk membacanya.
Aku mendengar suara pintu yang diketuk, berjalan menuju pintu depan dan membukanya.
Wajah Alska tertampang dengan mimik kesalnya.
“Kenapa nggak diangkat telponnya?” interogasinya. Aku mengernyit dan bertanya sebaliknya. “Emang kamu nelpon, ya?”
Dia mengacak-acak rambutnya sambil berteriak, melampiaskan kekesalannya. Tak lama, dia masuk begitu saja melewatiku.
Dia menaruh tas dan membuka sweaternya. Ditaruhnya sweater itu dekat dengan tasnya. Dia kembali menatapku dengan kesal. Atau mungkin… marah?
“Tadi kemana? Ngapain? Kamu nggak macem-macem ‘kan?” tanyanya bertubi-tubi.
“Nggak kok.” Jawabku simpel, dan itu membuatnya tambah kesal.
“Tadi ke-ma-na?” tanya berusaha tenang tetapi menekankan.
“Nggak kemana-mana. Pulang duluan.” Jawabku berusaha sejujur mungkin. Karena tidak mungkin dia percaya apa yang akan aku ceritakan. Bisa saja dia menyewa psikiater untuk menyembuhkanku.
“Kenapa?” tanyanya cepat.
“Pe-pengen aja.” Entah kenapa aku menjadi gugup saat ditanyakan itu.
“Ke-na-pa?” tanyanya lagi.
“Tadi ‘kan hujan, niatnya mau mandi hujan, hehe.” Ucapku dan menyengir senatural mungkin.
“’Kan. Nggak mungkin kamu nggak ada alasan.” Ucapnya sedikit menyiratkan kelegaannya.
“Emang boleh mandi hujan?” tanyaku penasaran.
“Nggak.” Jawabnya tegas.
“Kenapa?” tanyaku kebingungan.
“Nggak boleh pokoknya.” Jawab Alska tanpa penjelasan.
“Pasti ada alesannya.” Aku sedikit mencurigai mengapa Alska melarangku.