“Sampai kapan mau diem?” aku memutar kedua bola mataku, mengangkat keranjang berisikan bunga-bunga hasil panen, dan berjalan menuju meja kasir.
Hari ini aku membantu Alska memanen kebun, nantinya hasil kebun ini akan dikirim ke sekitar jabodetabek.
Aku membungkus bunga-bunga ini ke dalam satu koran yang dibentangkan dan dilipat, untuk kemudian bunga-bunga ini masuk ke dalam kotak besar dan diantar dengan mobil pick-up.
“Hei, aku minta maaf. Ini sudah hari kedua.” Ucapnya lagi. Perhatiannya benar-benar untukku.
“No, dua hari nggak cukup.” Ucapku sangat pelan.
“Fine, aku terlalu memaksamu, tapi aku tidak merasa menyesal mengatakan itu kepadamu.” Ucapnya sedikit kesal.
“Ya sudah, diam saja selamanya.” Ucapku santai selagi mengambil kotak yang sudah siap untuk dikirimkan.
Diam-diam aku memperhatikannya yang memperhatikanku dengan jelas. Dia sering mengikuti kemana aku pergi. Aku diam, dia diam, aku berbicara kepada orang lain, dia memperhatikan. Dia benar-benar tidak banyak berbicara sampai hari ini.
Sejujurnya, aku sudah tidak marah tentang itu, lagipula setelah aku merenungkan ucapan yang dia lontarkan dua hari yang lalu, aku merasa… tidak ada salahnya mencoba lagi.
Mencoba untuk tidak takut dengan masa depan dan masa lalu, berusaha tidak mengahakimi setiap perasaan yang kurasakan terutama jika itu sangat menyakitkan atau menyedihkan, dan aku sedang memikirkan… apakah aku akan seperti ini terus? Maksudku, aku baru tersadar bahwa aku sudah terlalu larut dalam kesedihanku sendiri sampai aku lupa caranya untuk tersenyum Bahagia seperti dahulu. Bukankah lebih baik jika aku mengabaikan perasaan-perasaan yang menyakitkan itu dan berusaha mengalihkannya atau bahkan mengubahnya menjadi perasaan yang menenangkan atau bahkan membahagiakan?
Melihat langit yang semakin mendung, aku segera merapikan kebun, seluruh kotak sudah masuk ke dalam mobil pick-up, dan tak lama mobil tersebut sudah melaju di jalan.
“Hei, sekarang sudah tidak ada orang.” Ucapnya kesal.
Aku menoleh ke belakang. Benar, tidak ada para karyawan kebun dan Alska- perempuan itu sedang pergi ke suatu tempat sendirian(Hal yang sangat mencurigakan),dan kemudian aku melihat wajah kesalnya.
“Aku orang.” Ucapku lugas.
“Maksudku, selain aku dan kamu.” Dia membalasnya dengan terbata-bata.
“Kamu hantu.” Bisa kamu bayangkan seperti apa ekspresinya? Mulutnya sedikit terbuka, salah satu alisnya naik, dan dia terlihat benar-benar keheranan.
"Oke." Ucapnya kesal dan aku menertawakan kekesalannya.
"Abis ini, apa yang kamu lakukan?" Tanyanya disaat aku sedang menatap langit lagi. Kali ini, langit mengeluarkan tangisannya sedikit demi sedikit.
"Entahlah, mungkin menatap langit?" Tanyaku kepada diriku sendiri.
Aku duduk di dekat pintu kebun, aku beruntung bisa duduk di sana karena atap kebun melindungiku dari rintik-rintik hujan.
"Sudah baca buku itu?" Aku menoleh ke samping. Tanpa kusadari, dia sudah duduk di sampingku.
"Novel Hujan?" Tanyaku sebaliknya.
"Ya, aku lupa kalau itu novel. Cerita fiksi." Dia mengucapkannya selagi memandang hujan yang perlahan jatuh ke tanah.
"Kamu berharap itu terjadi?" Aku tertawa kecil saat menanyakannya, dan dia juga tersenyum karena tawaku.
"Ya... bisa dibilang, nyaris seluruh cerita fiksi itu nyata, menurutku.” Jelasnya.
"Kenapa?" Tanyaku keheranan.
"Entahlah, aku tidak tahu mengapa. Jangan selalu bertanya 'kenapa'”
"Kenapa?" Aku dan dia sama-sama tertawa.
Untuk sejenak, kami sama-sama terdiam.
Menghembuskan nafas, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Jadi, gimana ceritanya kamu bisa jadi hantu?"
"Aku cuma imajinasi kamu, katanya." Dia sedikit memonyongkan bibirnya demi mengulang kata-kata yang kuucapkan dua hari yang lalu.
"Serius!" aku memercikan air hujan ke arahnya dan percikan itu tepat mengenai wajahnya.
Dia sedikit terkejut, tetapi segera membalasnya dengan mendorongku. Tanganku sedikit mengenai aspal dan sedikit basah karena hujan.
Aku terkejut karena balasannya, dan membalasnya. Aku mendorongnya berulang kali hingga dia benar-benar keluar dari kebun dan terbasahi oleh hujan.
Namun, tak hanya sampai situ, dia segera menarik tanganku dan membawaku bersamanya di bawah hujan, menari-nari tidak jelas. Sesekali saling mendorong, sesekali saling menarik. Dan kami sama-sama tertawa.
###
"Ini," aku memberikannya novel "Hujan" kepadanya.
"Buat?" Tanyanya sedikit kebingungan menerima novel itu.
Sambil sesekali mengusap rambut basahku dengan handuk, aku menjawab, "bacain." Perintahku.
Aku duduk di sampingnya, sedikit memberi jarak.