Beberapa hari kemudian, Nia sudah ada di rumah ini. Kami bertiga merayakannya. Membuat kue dan bernyanyi bersama. Sayangnya, kami tidak bisa melakukan banyak hal selain itu, karena Nia harus istirahat dengan cukup.
Malam ini, aku sendirian lagi. Tidak, sebenarnya aku tidak sendirian. Ada langit malam bersamaku dengan sedikit bintang. Aku menatapnya sambil memikirkan kembali masa depanku.
Apa yang kuinginkan? Apa saja yang ingin kucapai? Jurusan kuliah seperti apa yang sesuai dengan minatku? Universitas apa yang akan memilihku?
Di tanganku, kugenggam sebuah buku putih, itu buku diary Nenekku. Rasanya lega sekali setelah membaca ‘rahasia’ Nenekku.
Lagipula, buku ini memang seperti diperuntukkan untukku. Karena Nenekku mengucapkan ‘selamat tinggal’ lewat buku ini.
“Boleh bergabung?” aku menoleh ke arah sumber suara itu dan tersenyum saat melihat Awi.
“Sini.” Balasku. Dia berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku.
“Biar kutebak,” Ucapnya tiba-tiba.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Kamu udah nentuin mau jadi apa.” Ucapnya lagi, kali ini sedikit berbisik di dekat telingaku.
“Salah. Aku nggak lagi mikirin itu.” Dia cemberut, aku tertawa.