Aku menatap rumah sakit jiwa yang dituliskan oleh Awi di kertas milikku yang lain. Rumah sakit jiwa itu cukup besar, bahkan lantainya bertingkat tiga.
Aku menghela napas, memberanikan diri menginjakkan kakiku di lantai rumah sakit ini.
Jujur, aku sedikit takut, sangat gugup, juga sangat penasaran.
Pertama, aku tidak tahu seperti apa rupa Miyla—Kakak perempuan Awi—?
Kedua, aku tidak tahu apa yang membuatnya sampai dimasukkan ke rumah sakit jiwa ini?
Ketiga, aku tidak bisa memperkirakan seperti apa reaksi Miyla saat bertemu denganku? Orang asing yang hanya mengirim sebuah surat.
Aku menuju meja informasi dan meminta tolong kepada mereka agar aku bisa menemui pasien bernama lengkap Miyla Haritsyah.
Tunggu?
“Apa Miyla adalah sepupuku atau sebenarnya adalah anak simpanan Ayahku? Hahaha aku bercanda.” Ucapku seperti berbisik. Tentu saja kepada Awi, dia selalu di sampingku selama di perjalanan. Dengan hoodie abu-abu yang menutupi kepalanya, jeans hitam yang belum pudar, dan sepatu merah yang selalu menarik perhatianku.
“Marga nggak penting di keluargaku.” Aku membulatkan bibirku saat mendengar penjelasannya.
Tak lama, seorang petugas membawaku ke sebuah ruangan pertemuan, dan setelah aku duduk di salah satu sofa tersebut, ia izin pergi sebentar untuk memanggil Miyla.
Saat melihat ke sekelilingku, tidak banyak pengunjung di sini, beberapa pasien masih dibebaskan di sekitar rumah sakit jiwa ini, dan salah satunya sedang duduk bermain-main dengan jari-jarinya.
Sedikit merinding, tapi tidak kupedulikan. Awi sendiri hanya duduk tegap dan menatap lurus ke depan.
Selang beberapa menit petugas itu datang lagi bersama dengan seorang perempuan berambut lurus melebihi bahunya, dan kulit kuning langsatnya.
Miyla benar-benar tidak terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa saat pertama kali kulihat.
“Hei.” Ucap Miyla lembut dan ceria.
“Hei.” Balas sapaku.
“Hallo, Awi.” Sapa Miyla kepada Awi. Sontak saja aku refleks menoleh ke arah Awi yang hanya tetap diam pada posisinya.
“Apa kertas itu untukku?” Tanpa harus kuberitahu, Miyla seperti bisa membaca pikiranku. Dengan tangan gemetar, aku memberikan surat itu kepada Miyla.
“K-kakak bisa liat Awi?” Tanyaku gugup.
“Iya, kayaknya kamu bisa liat dia juga, ya?” Tanya Miyla sebaliknya dan aku menganggukkan kepala tiga kali. Masih tak mengerti mengapa hanya aku dan dia saja yang bisa melihat ‘arwah’ Awi. Aku dan Awi pernah membahas ini sebelumnya, tetapi tetap saja aku tidak pernah mengerti kenapa hanya Aku dan Miyla yang dapat melihatnya?
“Oh, ini ada yang buat kamu.” Keherananku bertambah dua kali lipat saat Miyla menyodorkan sebuah kertas yang juga sama. Padahal sebelumnya, aku tidak merasa memegang dua kertas yang sama.
Saat aku berusaha menganggapnya bahwa itu hanya sebuah kertas kosong, dan Miyla sedang berimajinasi bahwa disitu tertulis namaku, tetapi saat aku membaca kertas tersebut, benar-benar tertulis nama lengkapku.
Dengan rasa penasaran yang sangat besar, aku segera membacanya.
Kaget?
Maaf, tetapi seharusnya kamu paham kenapa aku harus mempertemukanmu dengan Miyla.
Kenapa hanya kamu sama Miyla yang bisa lihat aku?
Kenapa aku harus nunggu bertahun-tahun sampai Miyla siap ngelepas aku? Dan aku jadiin kamu korban selanjutnya.
Kamu bisa tau seluruh jawabannya di mata Miyla.
Aku harap, kamu tidak berakhir seperti Miyla, Mara.