Sanjarana

.
Chapter #1

1. Aku si Lemah

“BEEN… “ Suara itu lagi. Satu-satunya suara manusia yang tak pernah terlepas dari kehidupanku. Akh, bukankah sudah kubilang padanya kalau kali ini giliranku untuk memasak air? Lagipula, kayu-kayu yang setengah kering dan setengah lembab ini menyulitkanku menyalakan tungku.

FUUH… FUUH… Mau dihembuskan udara bagaimanapun api akan berkali-kali padam. Menyebalkan sekali.

“BEEN… “ teriaknya lagi.

“IYA, IYAA KI… SEBENTAR… “ sahutku.

Tidak mungkin Aki lupa dengan perkataanku padanya tentang apa yang aku kerjakan saat ini. Aki Engkus bukan tipekal pria tua yang pelupa. Usia tidak akan bisa menggerogoti fungsi ingatannya. Jangankan ingatan, otot-otot di tubuhnya itu pun tak akan pernah melunak barang sekejap, terutama otot lehernya itu ketika ia berbicara.

“Woh, dasar bocah!” Terdengar pria berusia enam puluhan tahun itu merutukiku dari halaman rumah. Lantas, segera kuhempaskan saja bambu di depan mulutku ini dengan segera dan bangkit mendatanginya. Jangan sampai tidak hanya urat lehernya yang menegang, tapi juga urat di sekeliling kepalanya.

“Iya, Ki. Ada apa?” jawabku di hadapannya. Aku tak ingin membuatnya kesal, maka cara yang ampuh adalah menunjukkan sikap tunduk dengan sedikit membungkukkan bahu dan kedua tangan teranyam menjuntai di depan.

“Lelet kamu, Ben, seperti perempuan! Itu, sampan kita hanyut, tuh,” ucap Aki Engkus menunjuk sampan yang sudah jauh dengan ujung dagunya. Setelah mendapati benda yang sama dengan yang ditunjuknya, aku pun melihat ke sekitar.  

Aliran sungai di muka halaman rumah kami ini begitu tenang, cuaca pun sedang santai-santai saja, tidak ada angin kencang atau sejenisnya. Kurasa aku sudah benar-benar menambatkan sampan kami dengan kuat tadi.

Sambil berjalan ke arah tepian, kulihat sampan kami memang sudah terbawa arus dengan pelan. Arus pun tidak memungkinkan untuk membawa lari sampan kami, kecuali itu sudah terjadi sedari tadi.  

Pasti ini akal-akalan si Aki lagi. Pria tua yang menyebalkan itu memang selalu mengerjaiku. Namun, tidak ada yang bisa kuperbuat selain mengikuti permainannya. Sekujur tubuh ini memang sudah terbiasa dengan rasa sakit, baik itu lebam maupun kucuran-kucuran darah karena ulahnya.

Lihat selengkapnya