Malam hari telah menenggelamkan keangkuhan hari ini, kurasa. Gelapnya pekat, menjadi selimut bagiku untuk beristirahat dan meletakkan segala apa yang ada di dalam isi kepalaku. Kulihat langit malam dari balik jendela, mereka tidak cerah. Entah sedang ada kemurungan apa di luar sana. Anginpun tak menyayup masuk ke dalam ruangan ini, tapi dingin malam masih ada.
Kulihat dari sudut lain di ruang ini, Aki Engkus sedang pulas-pulasnya tidur. Perutnya pasti sudah kekenyangan, sehingga pria tua itu cepat sekali tertidur. Lantas, kubangkit dari dipanku dan kututup jendela yang menganga, tempat ke mana mataku berkelana sejak tadi. Tidak ada nyamuk malam ini, jadi bukan itu alasanku menutup jendela ini. Aku hanya melakukan hal yang sudah biasa aku dan Aki lakukan saja.
Aku menutup mataku. Kelopak mataku berkedut. Entah sudah berapa lama aku tertidur, rasanya baru saja. Otakku ini tiba-tiba sudah membawaku pergi ke dalam sebuah kehidupan lain di dalamnya. Sebuah gambaran yang terasa nyata bagiku. Kurasa aku sedang tertidur, tapi aku yakin dengan apa yang sedang aku alami.
Ialah sesosok manusia bertubuh besar, kekar, berkulit cerah, wajahnya penuh kebijaksanaan, seorang perempuan berumur. Tubuhnya sudah membuncit, sebagaimana perempuan-perempuan berumur lainnya, tapi otot-ototnya begitu… entahlah. Kira-kira tubuhnya seperti kuli-kuli di pasar atau tukang besi.
Ia punya tatapan kesal kepadaku, seperti menantangku berduel. Ia sedang berdiri tepat di depan pintu rumahku, menunggu aku mendatanginya. Aku pun bangkit, tanpa rasa takut ataupun gentar. Hal itu karena kurasa aku tak punya dosa apapun padanya.
Aku lalu berhadapan dengannya. Ia begitu tinggi. Kepalaku hanya ada di setinggi ujung buah dadanya saja. Sampai aku harus mendongakkan kepala ketika menatapnya. Dengan cepat, tangannya yang kuat itu mencengkeram leherku. Rasanya begitu sesak, sepertinya aku akan mati tercekik oleh… oleh…
Tunggu! Tangan ini… tangan yang mencekikku, baru kusadari ia bersisik, kukunya begitu tajam, persis kaki seekor buaya. Matanya yang membara seakan tidak melepaskanku, tatapannya menusuk ke dalam mataku, memberikan kesan ngeri yang tak aku pahami.
“Sudah lama aku berusaha menghabisimu dan kau telah mengalahkanku!” ucapnya seraya menggeram. Cengkeraman tangannya melemah lalu terlepas. Rupanya cengkeram itu hanya berupa gertakan saja. Aku lantas terbatuk-batuk sambil memeriksa leherku sendiri dengan kedua tanganku.
“A-apa maksudmu?” tanyaku dengan napas yang masih tersengal.
“Kau telah menyantapku, Bodoh!” jawabnya.
“Jadi, kau adalah buaya yang tadi telah aku… “ ucapku tanpa tertuntaskan.
“Ya! Kurang ajar sekali kau telah berbuat seperti itu kepadaku!” balasnya lagi dengan geram.
“Hei, Nenek Tua! Kau yang kurang ajar! Apa yang salah dari kehadiranku di sini? Bukankah kau yang selama ini selalu cari gara-gara denganku? Kau yang selalu menyerangku! Apakah kau sudah kehilangan mangsa untuk memuaskan rasa laparmu, huh?” ucapku keras.