Sanjarana

.
Chapter #3

3. Kuyang Menabrak Pohon

Baru beberapa saat setelah orang-orang Limoa itu berlalu, aku melihat keanehan di sebuah pohon di balik rumah. Karena tinggi pohon itu melebihi tinggi atap rumah panggung yang aku dan Aki tinggali, jadi kanopinya begitu tampak bila ada pergerakan. Kanopi pohon bergoyang seperti baru saja ada yang meloncat di antaranya, atau ditabrak.

Dahan-dahan itu berbunyi karena dedaunannya berdesakan kasar. Pasti bukan ulah kera ekor panjang apalagi tupai, tapi lebih besar daripada itu. Aku beranjak cepat menghampiri belakang bagian rumah, berlari, untuk memastikan apa yang baru saja menggerakkan dahan-dahan pohon itu dengan sangat kasar. Tidak lupa kubawa serta obor untuk membantu penglihatanku di subuh yang masih gelap ini.

“IK… IK… IK…” Aku dikejutkan dengan suara aneh, seperti suara seorang perempuan muda tertawa cekikikan. Sungguhkah kemampuan tambahanku karena buaya sakti itu adalah dapat melihat hantu? Sebelumnya, aku hanya melihat tanda-tanda gaib secara tidak langsung saja, kini kenapa bisa sejelas ini?

Tentu aku mencari sumber suara itu. Sumber suara itu ada di bawah, bukan di dahan yang tadi bergoyang. Aku merunduk mencarinya di bawah, menyisir tanah yang tertutup rerumputan disertai dengan obor yang kupegang. Lalu, perlahan-lahan mataku pun bisa membedakan rumpun-rumpun herba dan perdu pendek dengan sebuah gugus rambut. Seperti undakan kepala berambut panjang yang sedang tergeletak di rerumputan.

Benar saja, itu adalah kepala dengan rambut yang rimbun dan panjang. Ia bangkit, sepertinya ia baru saja terjatuh, mungkin tadi telah menabrak dahan-dahan pohon ini lalu terjatuh di sini.

Sial! Seram sekali, walaupun wajahnya tidak tampak sebab ia sedang membelakangiku. Aku langsung menegakkan tubuh dan melangkah mundur dengan cepat. Kenapa ada-ada saja bentuk hantu sampai begitu aneh seperti itu. Kepala itu adalah kepala tanpa tubuh. Di bawahnya menjuntai beberapa organ dalam yang masih melekat satu sama lainnya.

Lantas, sambil melihatnya, aku memegang dadaku sendiri. Seperti itukah bentuk paru-paru, jantung, dan… apa itu? Organ lainnya yang masih menjuntai ke bawah.  

Sosok itu lalu terbang menjauhiku dengan cepat. Ya, ampun, mimpi apa aku semalam hingga aku jadi sesial ini? Aku bisa menyaksikan hal yang begitu jelas di depan mata kepalaku, yang sebelumnya belum pernah kualami. Oh, iya, tentu saja mimpi bertemu nenek-nenek jelmaan buaya itu. Sial, sial! Seraya kutepuk dahiku.

“Apa yang sedang kau lakukan?” Sebuah suara yang begitu familiar memecah diamku yang kaku, membuatku berpaling dari arah perginya hantu itu. Orang-orang menyebut jenis hantu itu adalah Kuyang.

“Eh, Aki. Sudah bangun rupanya? Aku hanya… hanya… ,” ucapku tergagap.

“Sudah kubilang, kalau buang air jangan dekat-dekat rumah. Nanti rumah kita jadi bau,” ucapnya dari balik jendela kepadaku.

“Bukan buang air, Ki,” jawabku. Lagipula, sejak kapan aku buang air di tempat sedekat ini dengan rumah? Apakah sewaktu kecil aku pernah melakukannya? Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya, sepertinya memang tidak pernah. Akh, mungkin bisa-bisanya Aki saja kalau bicara.

Lihat selengkapnya