“I-itu Ki… Tunggu… “ ucapku mencoba menghentikan langkah Aki Engkus.
“Kunyit?” ucapnya pelan. Aku pun mengangguk saja setelah paham ketika Aki Engkus memelankan suaranya.
Aki Engkus pun mendekatkan mulutnya ke sampingku, ia membisikiku sesuatu.
“Kau boleh menanyakannya, tapi jangan sekarang. Tunggulah sampai ‘mereka’ pergi,” bisik Aki.
Belum sempat aku menambah pertanyaanku, Aki Engkus lalu menarikku untuk melanjutkan langkah kami meninggalkan tempat itu. ‘Mereka’? Tunggu sampai ‘mereka’ pergi? Siapa yang Aki maksud dengan ‘mereka’ itu? Pertanyaan itu menggelitik pikiranku, sehingga sembari melangkah pergi sempat kutolehkan pandangan telisikku kepada kedua orang yang tadi kulihat bertransaksi dengan kunyit dari kejauhan.
DEEG…
Seorang pembeli yang menggunakan alat tukar kunyit itu menoleh padaku. Ia tersenyum. Begitu jelas wajahnya walau kulihat dari kejauhan saja. Tanda-tanda itu, alis, bentuk mata, dan… tiadanya garis pada bawah hidungnya!
Setelah membulatkan mata, lantas kucepat-cepat mengalihkan pandanganku kembali ke arah depan. Baru kupaham dengan yang dimaksud ‘mereka’ oleh Aki Engkus. Mereka adalah orang-orang Limoa! Suku gaib misterius yang sering dibicarakan oleh orang-orang namun cerita itu tidak benar-benar dibuktikan oleh siapapun.
Kini, bahkan untuk kedua kalinya aku membuktikan kebenaran kehadiran mereka dengan mata kepalaku sendiri. Lalu, pertanyaan lainnya yang muncul di dalam kepalaku, mengapa mereka, para penjual yang bertransaksi dengan Orang Limoa tidak buka suara kepada publik? Apakah ada suatu hal yang mengancam para penjual itu bila mereka buka suara? Ataukah… mereka juga bagian dari orang-orang Limoa itu?
Setelah kegiatanku dengan Aki Engkus selesai, aku berencana akan mendatangi para penjual tadi! Kalau Aki Engkus bilang aku boleh menanyakannya tapi tunggu Orang Limoa itu pergi, maka aku akan menurutinya yaitu dengan langsung menanyakannya kepada para penjual itu.
Beberapa saat kemudian, tibalah aku dan Aki Engkus di sebuah kios yang menjadi tujuan kami. Sebuah kios untuk kami menjual kulit buaya yang kami bawa.
Lalu, tiba-tiba…
BRUUUK… PRAAANG…
“Ini benar-benar asli langgundi!”
“Aampun, juragan! Saya mohon ampunkan ketidaksopanan anak saya ini. Saya bersedia mengganti kerugian juragan. Ampun!”