Sanjarana

.
Chapter #5

5. Sakral

Aku berjalan pelan menuju kios tempat asal tadi sembari memegangi dadaku yang terasa sesak karena terkena serangan.  Dari kejauhan kulihat preman-preman dan juragannya sudah pergi dari kios itu.  Orang-orang melihatku datang dan menyambutku dengan tatapan iba juga kagum.

Ibu pemilik kios kain itu berjalan mendekatiku yang tengah menuju ke arahnya.  “Apakah Anak baik-baik saja?  Saya minta maaf karena sudah merepotkan Nak… “ ucap ibu itu lalu menunggu namaku kusebut.  “Beni, Bu,” jawabku.  “Oh, Nak Beni.  Saya… “ ucap ibu itu.

“Saya tidak apa-apa, Bu.  Lagipula sudah kewajiban kita untuk saling membantu.  Perilaku orang-orang tadi terhadap ibu dan adik itu adalah perilaku yang tidak pantas,” ucapku memotong perkataan ibu pemilik kios kain itu.

“Bang, kami sangat berterima kasih Abang sudah membantu kami.  Saya tidak bisa bayangkan kalau Abang tidak datang tadi,” ucap remaja lelaki yang datang menyusul ibunya ini.  Ia menghampiri sambil meringis memegangi rahangnya yang babak belur.

“Iya, sama-sama, Dik.  Memangnya apa yang terjadi sampai mereka datang dengan sikap seperti itu?” tanyaku kepada ibu dan anaknya ini.

“Sepertinya kami telah difitnah, Nak Beni.  Selama ini kain-kain yang saya jual ini benar-benar kain asli, bahkan buatan keluarga.  Tapi, mereka bilang kain-kain ini palsu.  Saya bingung, sebab ban baku yang digunakan saja masih benar-benar belum berubah secara turun-temurun,” jelas ibu pedagang itu.

“Mereka itu orang-orang dari luar daerah, Bang.  Saya yakin mereka sengaja berbuat licik.  Saya perhatikan orang-orang dari luar memang suka semena-mena,” ucap anak si ibu itu.

“Orang yang datang tadi boleh berasal dari luar daerah, Dik, tapi kita tidak boleh menyamaratakan bahwa semua pendatang itu punya sifat yang buruk,” ucapku.

“Beni… Nama kamu tadi Beni, ya?”   Salah seorang pria memanggilku dari arah lainnya.  Sejak tadi apa yang terjadi di kios ini memang telah menjadi tontonan orang-orang pasar, sampai aku kembali ke sini orang-orang masih berkerumun.  Bahkan, kini aku yang menjadi pusat perhatian mereka.

“Iya, Pak.  Saya Beni,” jawabku.

“Kemampuan kamu hebat, Nak Beni.  Saya rasa kamu cocok untuk menjadi orang untuk mengamankan pasar ini.  Bagaimana?” ucap pria itu.  “Ya!  Bentul!”   “Setuju!”   “Kami bisa memberikanmu uang keamanan secara rutin kalau perlu!”  Orang-orang bersahutan menyambung ucapan dari pria tadi.

Aku mengernyitkan dahi.  Bukan ini yang aku inginkan.  Aku hanya sebatas ingin menolong secara spontan saja.  Aku sama sekali tidak berniat menjadikan ini sebagai profesi, apalagi mengharapkan upah.

“BEEN… “ panggil Aki Engkus dari arah lain lalu memberikanku sesungging senyum mengejek.  Dengan segera aku mengalihkan kembali pandanganku kepada orang-orang.  Aku rasa apa yang Aki Engkus pikirkan sama dengan isi kepalaku.  Sangat rendah apabila sebuah kebaikan dijadikan profesi seperti yang mereka tawarkan itu.

“Maaf, maaf, saudara-saudara.  Bukannya saya berlaku tidak sopan karena menolak tawaran saudara-saudara… Saya melakukan hal seperti tadi itu ikhlas, Pak, Bu.  Saya sama sekali tidak menginginkan upah atau menjadikannya profesi,” jawabku.

“Tapi kami membutuhkan Nak Beni di sini.  Kejadian seperti tadi tidak sekali dua kali terjadi,” ucap salah satu di antara mereka.

Lihat selengkapnya