Sanjarana

.
Chapter #7

7. Dikejar Macan Dahan dan Siluman Air

Tidur siang walau sekejap tadi membuatku segar, apalagi hujan yang turun selepas terik, hal itu membuat energiku kembali.  Aku pun melanjutkan perjalananku setelah hujan reda.  Aku melangkah pulang dengan pakaian yang lembap.  Sempat kuperas pakaianku tadi lalu kupakai kembali.  

Aku menggunakan petunjuk berupa di mana arah matahari bersinar.  Seingatku, tadi aku mengejar orang misterius lalu menemukan pemukiman dengan berjalan ke arah timur, maka kini kujejaki tanah ini ke arah barat.

Beberapa saat kemudian saat aku melangkah, seolah muncul di depan mataku ingatanku saat melintasi tempat-tempat ini.  Hal itu membuatku sangat yakin bahwa aku telah kembali ke jalurku sehingga aku bisa pulang.

Tiba-tiba…

SREEK… SREK… 

Ada suara sesuatu menggesek dahan kering.  Aku menghentikan langkahku, kemudian suara itu ikut berhenti juga.  Kulanjutkan kembali perjalananku beberapa langkah, kemudian suara itu terdengar kembali secara samar-samar.  Aku lantas menghentikan kembali langkahku dan suara itu kembali terhenti.  Aku pun diam selama beberapa saat, kuperhatikan suara itu tidak terdengar lagi.  Apakah sedang ada yang mengikutiku?

Aku pun melayangkan pandanganku ke sekeliling, tak kutemui apapun.  Aku berseru, “Hei… Apakah ada orang di sana?”  Tidak ada yang menjawab seruanku itu.  Insting pertahanan diriku pun timbul.  Aku berjongkok dan meliarkan arah pandanganku lebih jeli, kali ini hingga mengintip ke sela-sela batang perdu di bawah, sebab di bagian itu daun tak serimbun di bagian atasnya.

Sial!  Aku melihat beberapa buah kaki macan dahan sedang berjalan pelan sekali menyamping dari arahku!  Aku memperhatikannya dengan saksama, ternyata ia sedang berjalan untuk mengelilingiku.  Untuk menghadapi hal seperti ini aku tidak boleh kalut lalu berlari.  Dia tentu sedang mengincar bagian punuk belakang leherku untuk diterkamnya.

Aku lalu bangkit berdiri dan mengunci mataku pada sosoknya yang sudah kudapati dari sela-sela belukar.  Matanya telah mengunciku, kini kami saling beradu pandang.  Kuangkat sedikit kausku dan menautkan bagian lingkar leher di kedua telingaku.  Kini punuk belakang leherku sudah tertutupi kaus dan kuangkat tanganku setinggi mungkin untuk menakutinya.

Kulihat ada daun-daun keladi lebar di sekitarku.  Kupetik dua helai dan kembali kuangkat tanganku tinggi-tinggi dengan melambai-lambaikan daun itu.  Kini tubuhku terlihat dua kali besarnya dengan tubuh macan dahan ini apabila ia berdiri dengan kedua kaki belakangnya.

Ia berjalan mendekat masih dengan langkah mengitariku.  Kami kini berhadapan secara langsung.  Ia membuka rahangnya dan menunjukkan gigi-gigi tajamnya disertai hembusan napas berat dari kerongkongannya.  Ia mencoba menakutiku seperti seekor kucing pada umumnya.

Lantas, aku melakukan hal yang sama.  Kubuka mulutku dengan hembusan napas kerongkongan berat yang bersuara geram juga diiringi lambaian tanganku di atas kepalaku sambil memegang daun keladi.  Kuda-kuda kakiku kupasang kuat, bergerak salah satunya seperti hendak melompat menerkamnya.

Melihatku bersikap seperti itu tampaknya nyali seekor macan dahan ini mulai menciut.  kepalanya tak lagi setinggi tadi.  Wajahnya ia miringkan dengan mata yang melirikku waspada.  Macan dahan itu pun berjalan menyamping lalu pergi dari hadapanku.

Lihat selengkapnya