Aku membereskan, buku pelajaran. Hari ini, matematikaku mendapat nilai 0. Aku harus menyembunyikannya. Jika tidak, Ayah akan memarahiku, dan Ibu akan menjadi pelampiasannya.
"San, sini ikut pulang," kata Andrian, teman satu kelasku. Dia anak pintar dikelas, tak hanya pintar. Ayahnya memiliki jabatan di kantor. Ayahku pernah bilang, kalau jabatan Ayahnya lebih tinggi dari Ayah, yang seorang kepala laboratorium. Wajah Andrian cukup ganteng. Badannya tinggi selangit. Kulitnya putih bersih. Dia adalah anak yang beruntung, pintar, ganteng dan kaya.
Aku menggelengkan kepala. Namun, tangan Ibunya sudah berada dipergelangan tangan. Mau tak mau, aku harus masuk ke dalam mobilnya yang mahal. Ibunya tersenyum kepadaku, dia mengatakan wajahku sangat cantik. Pantas saja Andrian menyukaiku. Aku yang mendengarkan perkataan Ibu Andrian, hanya bisa tertunduk malu. Mana mungkin ada yang menyukaiku. Ayahku saja selalu mengatakan, bahwa wajahku tak mirip siapapun. Wajahku sangat jelek, tak pantas dipuji.
Tak butuh waktu lama, akhirnya aku sampai di rumah. Aku mengucapkan terimakasih. Belum sempat aku membuka sepatu, terdengar suara Ibu yang menangis dari dalam. Kulihat, Ayah bersiap bekerja. Wajah Ayah murka ketika melihatku.
"Dasar anak bodoh, matematika saja nol," oceh Ayah. Aku menunduk, tak berani melihat wajahnya. Ocehannya masih terdengar di luar rumah, bahkan ketika dia menaiki motor vespanya.
Ayahku, orangnya keras. Tak ada kata kompromi. Dia akan marah seketika, jika segala sesuatu tidak sesuai dengan kehendaknya. Hanya kakakku, yang sesuai standarnya. Kakakku selalu berprestasi, standarnya sesuai apa yang diinginkan Ayah, sedangkan aku, jauh dari standar. Jika aku mendapat nilai nol dalam pelajaran matematika, Ayah akan menghardikku. Akan dibandingkan dengan anak temannya yang pintar. Padahal, hanya satu pelajaran yang membuatku tidak terlihat pintar. Nilai rapotku juga tidak begitu jelek. Aku memang tidak mendapat peringkat pertama. Tapi, rankingku sekitar angka belasan.
"Nilai matematika saja jeblok, mau jadi apa kamu? Yang ada, setelah gede, kamu bisanya menyusahkan!" kata-kata itu membuat duniaku runtuh. Separah itukah, jika nilai hitung menghitung tak dapat nilai 10? Apa pelajaran itu menentukan segalanya? Aku hanya memandang bukuku yang sudah terbelah dua. Entah disobek atau diapakan ayahku. Aku memandang Ibu. Ada luka lebam dipipinya.
"Belajar yang bener. Kalau ga tahu, tanya Pak guru," pinta Ibuku. Jari tangannya mengambil benda bulat bening, memotongnya kemudian menempel diatas bukuku yang terbelah dua.
***
Pembagian rapor semester akan dilaksanakan pagi ini. Ayah sangat bersemangat mengambil rapor kakakku. Terdengar, Ayah memuji kakak. Membuatku sedikit sakit.
"Ayah yakin, hari ini kamu juara kelas lagi," pujinya dengan lantang. Kakak yang dipuji, memandangku. Dia menghampiriku.