“Lepasin, Dri, sakit!” Aku berusaha melepaskan pegangan erat tangan Andrian. Dia menatapku tajam, wajahnya yang sudah seperti pria dewasa dengan kumis tipis di sekitar atas bibirnya. Membuatku menghentikan keinginanku untuk melepas tangannya. Mengapa wajahnya begitu tampak tampan dan sempurna, alis matanya yang hampir menyambung, membuat dia seperti aktor luar negeri. Bahkan saat aku memberitahunya bahwa kantin sekolah baru saja dilewati. Tatapan dari bola matanya, membuat berubah menjadi takut. Seperti tatapan Ayah, saat aku tak ingin pergi sekolah karena aku malu menggunakan seragam sekolah SMP.
“Duduk disitu dan jangan pergi!” Suara tegas Andrian membuatku hanya memberi jawaban dengan anggukan kecil.
Tak beberapa menit kemudian, dia sudah datang dengan baki berisi dua gelas es teh manis dan dua mangkok baso dengan mie kuning. Aku dan Andrian duduk di belakang kantin, tempat ini, seperti tempat favorit kakak kelas. Mereka yang berpacaran sering kali kulihat duduk berdua disini. Tak ada kursi atau meja. Hanya tembok pembatasan yang bisa meletakkan mangkok, dua kursi plastik sudah disediakan disana.
Setelah beres makan. Andrian menumpuk mangkok, kemudian meletakkan mangkok itu di sudut dinding. Dia sedikit memundurkan kursi, lalu ke dua kakinya, ia letakkan di atas tembok pembatas yang pendek itu. Aku berusaha menahan rasa canggung dan hati yang mendadak berdebar. Gelas es teh manis ditanganku, kugenggam erat. Aku sengaja mengisapnya sedikit demi sedikit. Andrian menurunkan kakinya, merubah posisi duduk, kini dia berada disampingku. Saat aku melihat matanya yang menatap wajahku tanpa berkedip. Aku menyedot es dengan cepat hingga tersedak.
“Pelan-pelan, minumnya,” aku hanya mengangguk. Ujung mataku menangkap senyumannya. Tak berapa lama, terdengar helaan napasnya pelan.
“Na, gue mau jujur, gue suka sama lo. Sejak kita masih TK. Gue, mau lu jadi pacar gue, gue ga mau lu jawab apapun. Hari ini, kita mulai pacaran,” Kali ini, aku menatap mata Andrian tanpa canggung.
“Dri, tunggu dulu,” aku begitu kaget mendengar penuturannya.
“Apa? Ayah lo yang galak? Gua akan hadapi itu. Ellin? Dia bukan siapa-siapa gue, gue pacaran sama dia hanya sampai tiga hari. Dia mantan gue! Apalagi?” aku menggelengkan kepalaku. Andrian tersenyum, lalu mengusap kepalaku pelan.
“Mulai hari ini, lo adalah pacar gue. Inget, jangan macem-macem,” ucap Andrian sambil menatapku dengan lembut.
“Tega ya, Lo Dri. Dan Lo, ga pantes buat Andrian!” tangan Ellin hampir menarik rambutku. Tepisan tangan Andrian membuat Ellin bertambah kesal. Ia berusaha maju ke depan, hendak menamparku. Andrian mendorongnya.
“Jangan pernah sentuh, Santana!”
“Siapa dia?” teriak Ellin, membuat para siswa yang berada di dekat kantin berkumpul ingin melihat apa yang terjadi.
“Santana sekarang, pacar gue!” bentakan Andrian, membuat Ellin terdiam dan menangis. Ia langsung berbalik badan dan menembus kumpulan para siswa. Mereka terlihat mulai berbisik tidak jelas. Mataku, tak sengaja melihat Nana, dia mengajukan jempol kepadaku. Siswa baru yang aneh.
Nana, datang ke sekolah sebagai murid pindahan dari Jakarta. Ia memang terlihat agak kasar. Baru satu minggu di kelas, ia sudah bisa menguasai seluruh isi kelas. Tubuhnya memang sepertiku, kecil. Tetapi, biarpun badannya kecil. Saat ia berbicara menusuk hati dan jantung. Nana itu aneh, dia sering mengejekku kutu buku. Tetapi, dia juga membelaku, saat salah satu siswa mengejekku saat aku belum memakai baju putih abu-abu. Dia mengomelinya.
“Ini sekolah, buat belajar, bukan buat pamer baju. Kalau, dia belum bisa pakai baju seragam, itu yang dia pakai seragam, bukan?”