Santana

Rosa Linda
Chapter #4

Teman Yang Sesungguhnya

Tahun ke dua, kelas XI. Itu menandakan aku semakin dekat menuju tingkat akhir sekolah. Aku semakin dekat dengan Nana. 


Nana, dia sudah menjadi sahabat bahkan kami sering pulang berdua saat sekolah. Sesekali, dia memboncengku dengan motor matic miliknya. Sebuah persahabatan tanpa sengaja. Kedekatanku dengan Nana dimulai saat dia menjadi siswa baru di sekolah. Dia terjebak di kamar mandi, tepatnya ia dikunci dari luar. Entah siapa yang menguncinya. Saat itu, aku kebelet pipis ketika sampai gerbang sekolah. Bukannya meletakkan tas di dalam kelas. Aku langsung ngacir menunjukkan kamar mandi. Awalnya aku tak memperdulikan suara tangisan itu, yang terpenting rasa kebelet itu menghilang. Saat keluar kamar mandi, baru aku menghampiri kamar mandi yang tertutup rapat, pintu depan kamar mandi terkunci dari depan,dengan posisi kunci kamar mandi menggantung di luar pintu. Saat aku melihat kebawah, aku baru menyadari jika itu bukan hantu. Melainkan salah satu siswi terkurung di dalam. Aku segera memutar kunci kamar mandi, saat kubuka pintu itu pelan. Kulihat wajah Nana begitu ketakutan, duduk di atas toilet duduk yang tertutup sambil memeluk kedua kakinya. Aku memeluknya dan dia membalas pelukanku. Aku membantunya keluar dari kamar mandi. Dia menarik napas panjang, lalu menuju wastafel di depan kamar mandi. Dia mencuci muka, setelah selesai, dia mengeringkan wajahnya dengan tissu toilet. Tangannya mengambil benda bulat dengan spon bedak, ia menaburkan bedak ke wajahnya, kemudian meninggalkan diriku sendiri. 


Ketika pelajaran pertama di mulai. Ibu guru, memperkenalkan Nana di depan kelas. Nana diminta untuk memilih untuk duduk di kursi mana. Ia menunjuk mejaku yang kebetulan kursi disebelahnya kosong. Dia selalu mengatakan aku terlalu cupu dengan kacamata bulat dimataku. Bahkan dia mengatakan, rambut kepang yang kukenakan itu terlalu kuno untuk digunakan saat sekolah. Saat waktu istirahat tiba. Ia akan menarik pita di ujung kepang, mengeluarkan sisir dari dalam tasnya. Menguncir rambutku yang panjang, seperti ekor kuda. Dia selalu mengatakan kepadaku setiap hari. Saat sekolah, biarkan rambutku tergerai. Nanti di sekolah, ia akan menguncinya.



“Na, boleh aku tahu, mengapa kau benci toilet sekolah? Kau selalu menahan buang air kecil setiap hari dan itu tak baik untuk kesehatanmu. Kau hanya mau, ke toilet perpustakaan, jika perpus tidak buka, kau lebih baik menahannya. Padahal, aku bisa menjaga pintunya, jika kau mau,” Aku bertanya dengan Nana saat di dalam ruangan perpustakaan. Nana menatapku, lalu dia tertunduk lemas.


“Waktu aku kelas 1 SMP, aku pernah dikurung di toilet. Mereka mengurungku sambil menyiram air berbau kotoran manusia. Tak hanya itu saja, mereka mengikat tangan dan kaki, bahkan menutup mulutku dengan lakban. Aku tak mau sekolah sampai kelas tiga. Orangtuaku mengambil Home schooling. Sambil mengikuti hipnoterapi. Saat pindah ke sini, Ibu dan Ayah meyakiniku, anak daerah tak sama dengan anak kota. Hari pertama sekolah, aku mendapatkan hal buruk, dan aku tak mengira, kau menyelamatkanku dan memelukku. Aku mengira tak akan menemukan anak baik di sekolah ini, ternyata aku salah,” Aku yang mendengar cerita Nana, langsung merubah posisi duduk.


“Beritahu aku, siapa yang melakukannya. Tuh anak, butuh disleding,” aku mengepalkan tanganku, lalu menggerakkan gerakan seperti ingin meninju. Nana tertawa kecil.


“Kau tahu, siswi yang cemburu saat kau ditembak Andrian? Dia sepupuku, aku tak pernah akrab dengannya. Bahkan, saat orang tuanya berkunjung ke rumahku. Aku tak pernah keluar kamar sedikitpun. Dia yang mengurungku di toilet sekolah,” 


“Hah, anak itu, menyebalkan sekali,” Nana yang melihat mukaku yang masam, langsung tertawa sangat kencang. Membuat penjaga perpus, melekatkan jarinya ke mulut.


“Andrian, bagaimana kabarnya, San? Dia sering menghubungimu?” Aku mengangguk dengan senyum.


Dua minggu di sekolah menengah atas, Andrian harus pindah ke luar kota. Ayah Andrian di pindah ke kantor pusat. Menurut cerita Andrian, Ayahnya menempati posisi terpenting di kantor pusat dan dia juga berkata, Ayah Nanalah yang mengganti posisi Ayah Andrian di kantor. 



POV Nana


“Ibu percaya, anak-anak di kelasmu, adalah anak baik. Jika kau tak punya teman, kau bisa berteman dengan Elin di sekolah, sebelum kau mendapat teman baru, Dia, sepupumu, bukan?” 


Nana hanya mengangguk. Hatinya masih menyisakan ketakutan. Bayangan pembullyan tak sepenuhnya hilang diingatan Nana. 


Tiga tahun lalu, Nana bersekolah di sekolah asrama swasta yang cukup besar. Siswa baru yang manis dan tidak banyak berbicara. Awal pertama sekolah, Nana begitu bersemangat mengikuti pelajaran. Masuk Minggu ke tiga sekolah, malapetaka itu dimulai. Seorang siswi dari kelas tiga, mendatangi Nana. Dia selalu meminta uang kepada Nana. Dia tak sendiri, berkelompok. Saat istirahat dimulai. Anak itu selalu mendatangi Nana di kelas. Menggebrak meja, menunjuk muka Nana bahkan menarik rambut Nana yang panjang. 


Lihat selengkapnya