Santet Darah Biru

Allamanda Cathartica
Chapter #1

De Wind Waait Uit de Verkeerde Hoek

EERSTE

De Wind Waait Uit de Verkeerde Hoek

De wind waait uit de verkeerde hoek adalah spreekwoord Belanda yang secara harfiah berarti angin bertiup dari arah yang salah. Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan situasi di mana seseorang merasakan adanya perubahan suasana yang mencurigakan, meskipun belum jelas apa penyebabnya. Dalam penggunaan sehari-hari, ungkapan ini sering menunjukkan munculnya firasat buruk.

***

Jawa Timur, pertengahan tahun 2019.

Aku tidak pernah membayangkan bahwa hari-hariku di SMA akan dihantui oleh cerita-cerita menyeramkan. Saat itu, aku sedang menjalani tahun kedua di SMA. Sekolahku merupakan SMA tertua di kota kelahiranku. Bangunannya berdiri megah dan kukuh, tetap bertahan selama lebih dari satu abad.

Sekolahku dibangun pada tahun 1922. Desain bangunannya mengadopsi gaya arsitektur Indische yang khas dengan perpaduan unik antara unsur Eropa dan lokal. Ciri utamanya tampak jelas pada pintu-pintu besar, jendela-jendela lebar, dan lubang ventilasi yang dirancang untuk memastikan sirkulasi udara berjalan lancar di tengah cuaca tropis. Keanggunan bangunan ini memancarkan nuansa klasik yang memikat, mulai dari dinding tinggi yang kukuh hingga langit-langit yang menjulang. Di balik pesona arsitekturalnya, sekolahku ternyata menyimpan jejak sejarah panjang yang tidak hanya penuh cerita indah, tetapi juga bayangan kelam yang menjadi bisik-bisik di kalangan para siswa.

Menurut cerita dari kakak kelas, sekolahku menyimpan banyak misteri yang sulit diabaikan. Bagaimana tidak? Sekitar seratus tahun yang lalu, bangunan ini bukanlah SMA seperti sekarang, melainkan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Johan Jacob Coert menyetujui pembangunan MULO setelah adanya desakan dari warga Eropa yang menginginkan pendidikan menengah bagi anak-anak mereka.

Pemerintah kolonial Belanda akhirnya menyetujui pemberian sebidang tanah kosong seluas dua hektare yang dibeli dengan harga 3.335 gulden. Keputusan ini menjadi titik awal pembangunan sekolah menengah yang nantinya memberi manfaat bagi masyarakat di kawasan tersebut. Proyek pendirian MULO bahkan menarik perhatian media masa, hingga diberitakan secara luas melalui surat kabar terkemuka Belanda, seperti De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad.

MULO memiliki posisi yang istimewa karena saat itu menjadi satu-satunya lembaga pendidikan menengah resmi yang berdiri di wilayah gemeente. Pembangunan MULO mencerminkan bukti keterlibatan pemerintah Belanda dalam merancang sistem pendidikan formal. Kehadiran sekolah menengah ini turut berperan aktif guna melahirkan golongan elite intelektual di Hindia Belanda.

Ketika memasuki masa pendudukan Jepang, MULO terpaksa ditutup. Bangunannya dialihfungsikan menjadi markas tentara Jepang. Dalam rangka mendukung strategi militer mereka, bangunan bekas MULO digunakan sebagai pusat komando sekaligus pos pengawasan wilayah sekitar. Suasana gedung yang dulu ramai oleh kegiatan belajar mengajar, kini menjelma menjadi tempat yang mencekam, dipenuhi gema langkah tentara dan suara perintah di tiap penjuru.

Tidak hanya berfungsi sebagai markas, bangunan ini juga dijadikan kamp konsentrasi oleh tentara Jepang. Orang-orang Belanda, termasuk perempuan dan anak-anak, serta tawanan militer ditahan di sana dalam kondisi yang amat menyedihkan. Mereka kekurangan makanan, terserang penyakit, dan disiksa habis-habisan. Bagi banyak orang, bangunan tersebut adalah tempat di mana hidup mereka berakhir. 

Begitu Jepang menyerah, markas mereka langsung dikuasai oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Divisi 1 Brawijaya. Namun, masa-masa damai tidak berlangsung lama. Pada tahun 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II. Pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) berhasil merebut dan menduduki gedung untuk sementara waktu. Barulah setelah situasi politik stabil di awal tahun 1950, bangunan bekas MULO dikembalikan ke tujuan awalnya sebagai institusi pendidikan.

Sekolahku telah beroperasi selama 73 tahun. Bangunannya menjadi saksi bisu berbagai babak sejarah, mulai dari masa kolonial, pendudukan Jepang, hingga perjuangan kemerdekaan. Setiap lorong dan ruangan menyimpan jejak-jejak masa lalu yang tidak pernah sepenuhnya hilang.

“Kamu tau nggak? Katanya, di koridor lantai dua sering muncul penampakan noni-noni Belanda,” ujar Zahra tiba-tiba. Waktu itu, kami sedang belajar kelompok di gazebo induk sambil menikmati silir angin sore.

Aku melirik Zahra sekilas lalu mengangkat bahu terlihat tidak peduli. “Ah, paling cuma cerita buat nakut-nakutin aja. Aku sih belum pernah lihat yang aneh-aneh.”

Zahra mendengus. Ia menatapku dengan ekspresi penasaran. “Serius? Masa sih? Padahal banyak yang bilang pernah lihat sosok perempuan pakai gaun putih melayang di sana, terutama pas menjelang magrib.”

Aku tertawa kecil, mencoba mengalihkan suasana. “Ayo nanti kita coba tunggu di sana sampai magrib. Biar tau sendiri ada hantu atau enggak.”

Lihat selengkapnya