TWEEDE
Als Een Rat in de Val Zitten
Als een rat in de val zitten adalah spreekwoord Belanda yang secara harfiah berarti terjebak seperti tikus. Ungkapan ini menggambarkan situasi di mana seseorang berada dalam posisi yang sulit, seolah ia masuk ke dalam perangkap dan tidak bisa melarikan diri. Biasanya, kondisi ini dihubungkan dengan keadaan yang penuh tekanan, bahaya, atau ketidakberdayaan.
***
Aku dan Karin terus melangkah menjauhi sosok noni Belanda yang tadi kulihat. Jantungku masih berdegup kencang dan telapak tanganku terasa dingin. Kami berjalan secepat mungkin. Suasana koridor lantai dua terasa begitu penuh, seakan ada yang mengikuti langkah kami dari belakang.
Begitu sampai di depan ruang kelas XII IPS E yang terletak di ujung koridor, Karin berhenti lalu menoleh ke arahku. Napasnya sedikit tersengal. Jelas ia juga merasakan kegelisahan yang sama denganku.
“Mending kita duduk di sini aja deh. Kayaknya aman,” ucap Karin. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Gimana, Al?”
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Kemudian, aku mengangguk pelan. “Iya, Rin.”
Percakapan kami terhenti saat HT yang digenggam oleh Karin berbunyi. Lampunya berkedip-kedip menandai adanya gelombang frekuensi radio yang tersambung. Beberapa detik berselang, suara familier menyusul masuk ke telinga kami.
“Info, info, gimana teman-teman? Sudah stay di tempat masing-masing?”
Itu suara Deni—ketua panitia—yang terdengar dari HT. Nada bicaranya tegas, meskipun ada gangguan sinyal yang membuat suaranya terputus-putus, sehingga bagian akhir kalimatnya terdengar kurang jelas. Aku dan Karin saling melirik. Rasa tegang yang sempat mencengkeram kami perlahan mereda. Kami mengembuskan napas lega.
Anggota panitia lainnya menanggapi pertanyaan dari Deni. Suara mereka terdengar bertumpuk-tumpuk dan sesekali terganggu oleh desisan statis. Setiap tim melaporkan bahwa mereka telah berada di lokasi masing-masing.
Suara Deni kembali terdengar melalui HT. “Tim lantai dua, Karin dan kawan-kawan, aman nggak?”
Karin menekan tombol HT lalu menjawab dengan ragu-ragu, “Sejauh ini aman, Den. Tapi, kamu … nggak bisa minta anak cowok buat jaga di lantai dua? Masa iya cewek semua?”
Aku menatap wajah Karin lekat-lekat. Ekspresinya menunjukkan campuran emosi—antara kesal, bingung, dan cemas yang sulit disembunyikan. Sejujurnya, aku pun setuju dengan Karin. Kehadiran anak laki-laki di sini mungkin bisa memberi kami sedikit rasa aman.
Sialnya, Deni mematahkan harapan kami begitu saja. “Nggak bisa, Rin. Kita sudah diskusi sama Pak Sugeng. Setiap tempat juga sudah ditentukan sama beliau, termasuk siapa aja yang harus jaga di sana.”
Karin menghela napas panjang. Ia menggigit bibir bawahnya. “Kita beneran takut, Den. Gimana kalau ada hal buruk yang terjadi sama peserta? Please banget, timku minta anak cowok satu ... aja, Den.”
“Rin, Pak Sugeng itu nggak sembarangan nentuin tempat jaga. Kalau kalian yang dipilih di lantai dua, itu artinya beliau yakin kalian bisa. Nggak usah khawatir berlebihan. Tenang aja.”
Aku dan Karin saling bertatapan. Kami tahu Deni mencoba menenangkan kami, tetapi ucapannya justru terasa menambah tekanan. Alih-alih mengurangi rasa takut, kata-katanya mengisyaratkan kalau kami tidak punya pilihan lain selain siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.