DERDE
Waar Rook is, is Vuur
Waar rook is, is vuur adalah spreekwoord Belanda yang secara harfiah berarti di mana ada asap, di situ ada api. Ungkapan ini mengandung makna bahwa setiap kejadian yang mencurigakan kemungkinan besar memiliki penyebab yang mendasarinya. Selain itu, ungkapan ini sering digunakan sebagai pengingat agar seseorang tidak mengabaikan tanda-tanda kecil yang dapat berkembang menjadi masalah besar.
***
Entitas yang merasuki tubuh peserta perempuan itu tiba-tiba merangkak ke arahku. Ia bergerak liar mirip seekor hewan buas yang siap menerkam mangsanya. Sorot matanya memancarkan emosi yang nyaris membakar kulitku. Tatapannya membuat tubuhku terpaku di tempat.
Dalam hitungan detik, ia menerjangku dengan kekuatan yang mustahil dimiliki manusia biasa. Aku terempas ke belakang cukup keras. Punggungku langsung beradu dengan lantai yang dingin. Benturan itu memicu rasa nyeri yang menyebar dari tulang belikat sampai ke ujung kaki.
Ketika melihatku terjatuh, Karin dan Zahra menjerit panik. Mereka berlari menghampiriku, tetapi langkah mereka kalah cepat. Sebelum aku bisa menghindar, sosok itu melompat dan mendarat tepat di atas perutku. Tangannya mencengkeram leherku dengan erat. Cengkeramannya sangat kuat, seolah jari-jarinya adalah belenggu baja yang tidak bisa kugeser sedikit pun.
“Mati! Mati! Ha ha ha ….” Ia tertawa puas melihatku meronta kesakitan.
Aku berusaha melepaskan cengkeramannya. Namun, tenaga yang dimilikinya jauh lebih besar dari perkiraan. Udara terasa sulit untuk dihirup. Dadaku sesak. Aku terbatuk-batuk mulai kehilangan tenaga.
Dengan pandangan yang berkabut, aku melihat Zahra dan seorang peserta laki-laki yang ada di sana segera bergerak untuk membantuku. Mereka menarik tangan peserta perempuan itu dengan sekuat tenaga. Bukannya berhasil, mereka malah terpental ke samping, menghantam meja hingga terdengar suara benda jatuh berdebum. Erangan kesakitan keluar dari mulut mereka.
Karin terus berjuang menghubungi Deni melalui HT yang tergenggam di tangannya. Jari-jarinya gemetar menekan tombol komunikasi berulang kali. Nahasnya, hanya terdengar dengungan statis. “Sial! HT-nya nggak nyambung!”
Akhirnya, Karin mengambil langkah lain. Ia menoleh ke arah peserta kelompok terakhir yang masih berdiri membeku tidak jauh darinya. “Jangan cuma berdiri di situ! Cepat cari bantuan! Panggil panitia senior atau pembina! Sekarang juga!”
Beberapa dari mereka saling bertatapan, terlihat ragu sejenak. Namun, saat mendengar suara tercekikku yang melemah, keraguan itu lenyap. Mereka berlari sekencang mungkin menuju tangga. Sebagian mencari panitia senior, sedangkan yang lain mungkin hanya ingin menjauh dari kengerian yang terjadi di depan mata mereka.
Peserta perempuan yang sedang menindihku itu sama sekali tidak menunjukkan niat untuk melepaskan cengkeramannya dari leherku. Ia mendekatkan wajahnya. Bibirnya tepat di samping telingaku lalu ia berbisik, “Kowe kudu ngrasakno loroku. Kowe kudu ngrasakno opo sing tak alami! Kowe ngerti rasane digawe sengsara? Aku ora bakal ngelungake awakmu, Nduk. Aku ora bakal ngelungake awakmu sakdurunge kowe ngerti opo sing tak alami!”1
Aku merasa tubuhku semakin lemas. Pandanganku perlahan menjadi buram. Sosok Karin dan Zahra yang panik di sekitarku tampak berbayang. Suara-suara di sekelilingku terdengar sayup, bercampur dengan dengungan aneh yang memenuhi kepala. Jika ini terus berlanjut, maka aku bisa kehilangan kesadaran.
Tidak terasa air mataku menetes bersamaan dengan keringat dingin yang mengalir dari pelipisku. Di sela-sela ketakutan yang membelenggu, memori asing melintas di pikiranku. Gambaran samar muncul begitu saja, seperti ada proyektor yang menayangkan potongan-potongan film. Gambar-gambarnya buram, bergetar, dan tidak utuh. Setiap fragmen yang muncul membuat bulu kudukku berdiri.
Aku melihat kilasan seorang perempuan mengenakan kebaya berwarna gading. Kainnya lusuh dan penuh noda darah yang mengering di bagian depan. Naluri pertamaku langsung menolak menyamakan sosok itu dengan noni Belanda yang sebelumnya kutemui. Sosok itu bukan bagian dari cerita yang pernah kudengar. Ia juga bukan sekadar hantu penasaran. Energinya menyimpan dendam kesumat.
Seiring munculnya kilasan tersebut, suara dengungan terus bergaung menusuk telingaku. Frekuensinya meningkat, seakan ribuan lebah berputar di sekeliling kepala. Getaran suara itu membuat kepalaku sangat pusing. Aku memejamkan mata, berharap semuanya segera reda. Namun, saat aku berani membuka mata kembali, kondisi di sekitarku telah berubah total. Aku tidak lagi berada di kelas.