Santet Darah Biru

Allamanda Cathartica
Chapter #4

Als Het Getij Verloopt, Verzet Men de Bakens

VIERDE

Als Het Getij Verloopt, Verzet Men de Bakens

Als het getij verloopt, verzet men de bakens adalah spreekwoord Belanda yang secara harfiah berarti ketika air surut, suar dipindahkan. Ungkapan ini menyiratkan bahwa seseorang dituntut untuk menyesuaikan langkah dan keputusan yang diambil dalam menghadapi perubahan besar. Kemampuan beradaptasi menjadi kunci untuk bisa melewati tantangan.

***

Salat Subuh berjamaah telah selesai. Aku melipat mukena lalu memasukkannya ke dalam tas. Napasku mulai stabil, meskipun bayang-bayang kegelisahan yang tadi sempat membuncah masih bersemayam di relung dada. Dengan langkah pelan, aku meninggalkan musala.

Tujuanku menuju base camp panitia yang terletak di deretan kelas X MIPA. Tempat itu biasanya menjadi titik kumpul kami, baik untuk briefing maupun sekadar beristirahat. Aku harus melintasi lorong sekolah yang lengang agar bisa sampai ke sana. Suara langkah kakiku terdengar bersahut-sahutan dengan kicau burung prenjak. Aku baru saja melewati taman kecil di samping kelas X MIPA C saat seseorang muncul dari balik pilar.

“Al.” Suara itu membuatku refleks menoleh. Deni berdiri di sana. Wajahnya tampak serius.

Langkahku terhenti. “Ada apa, Den?”

Ia mendekat ke arahku sambil berkata, “Kamu dicari sama Pak Sugeng. Katanya mau bicara empat mata.”

Aku terdiam. Jantungku berdetak cepat. Aku bisa menebak arah pembicaraan itu. Nantinya pasti akan membahas tentang kejadian semalam—kerasukan, rajah, dan pingsanku akibat ulah sosok astral.

Aku menghela napas kasar. “Sekarang?”

Deni mengangguk. “Iya, barusan banget beliau bilang langsung ke aku. Disuruh nyampein ke kamu. Pak Sugeng ada di pos satpam, Al.”

“Oke, aku ke sana sekarang,” balasku kemudian.

Aku mendongak menatap langit. Selaput kabut tipis melayang rendah di udara pagi yang dingin, mengambang seperti sisa mimpi buruk yang enggan pergi. Hari ini belum dimulai, tetapi beban semalam sudah kembali menagih perhatian. Apakah ini pertanda bahwa persoalan semalam belum usai? Ataukah justru babak barunya akan segera dimulai? Aku benar-benar tidak tahu.

***

Mataku menangkap keberadaan Pak Sugeng tidak jauh dari pos satpam. Aku menghampiri dan langsung menyapanya, “Assalamualaikum, Pak.”

Pak Sugeng menoleh. Rupanya pagi buta begini, ia sibuk menyapu dedaunan kering yang berserakan di halaman sekolah. Ia menyeka keringat dengan handuk kecil yang tersampir di bahunya. “Waalaikumsalam. Piye, Nduk? Awakmu wis mendingan?1

Alhamdulillah. Lumayan, Pak,” jawabku disertai senyuman tipis.

Yo wis, syukurlah.2 Raut wajah Pak Sugeng melunak. Ia mengusap dadanya penuh kelegaan. “Ayo masuk ke pos dulu. Bapak mau ngomong sebentar sama kamu.”

Tanpa banyak protes, aku menuruti ajakan Pak Sugeng. Aku berjalan menuju pos satpam. Bangunan kecil beratap seng itu berdiri di tepi halaman sekolah, tampak sunyi dalam balutan cahaya pagi yang pucat. Begitu masuk, aku mengambil tempat di salah satu kursi kayu. Suara deritnya terdengar menyambut kehadiranku.

Tidak lama setelah aku duduk, Pak Sugeng menyusul masuk ke pos. Ia menutup pintu secara perlahan. Dari caranya mengunci pandangan ke arah daun pintu, ia terlihat tidak ingin membiarkan suara sekecil apa pun mengganggu percakapan yang akan terjadi.

“Apa yang kamu lihat di lantai dua, Nduk?” tanya Pak Sugeng penasaran.

Lihat selengkapnya