VIJFDE
Zijn Woorden Zijn Gouden Appelen in Zilveren Schalen
Zijn woorden zijn gouden appelen in zilveren schalen adalah spreekwoord Belanda yang secara harfiah berarti perkataannya bagaikan buah apel emas dalam wadah perak. Ungkapan ini menyiratkan bahwa kata-kata yang diucapkan seseorang begitu indah, bijak, dan bernilai. Bisanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berbicara dengan kelembutan dan kebijaksanaan, sehingga ucapannya mampu memberi dampak positif bagi pendengar.
***
Jawa Barat, tahun 1932.
Gerbang awal abad ke-20, Hindia Belanda ibarat panggung luas tempat sejarah menggubah babak baru. Tanahnya yang dipeluk lautan dan gunung tetap berada dalam genggaman kokoh tangan penjajah. Angin perubahan berembus laksana desir halus dari apa yang mereka sebut sebagai politik etis. Janji yang dikemas rapi dalam bahasa balas budi, meskipun sering kali terasa getir di lidah bumi yang menopangnya.
Pemerintahan kolonial memperluas sayap birokrasi dengan cara membangun struktur baru di tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh adat dan tradisi. Ekonomi tumbuh pesat berkat perkebunan, perdagangan, dan hasil bumi yang tidak pernah kering. Di antara geliat kemajuan itu, berdirilah Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) yang dibangun di bawah komando Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Seabad berselang, Jalan Raya Pos masih ramai dilalui kereta kuda, delman, dan kendaraan roda dua yang berderit-derit. Dari titik nol kilometer di Anyer hingga Panarukan, terbentanglah jalan panjang yang menjadi nadi pergerakan logistik dan kekuasaan. Sepanjang jalan berjejer bangunan-bangunan penting milik pemerintah, markas tentara, dan rumah dinas para pejabat tinggi Belanda. Salah satunya adalah rumah keluarga van Dijk.
Rumah bergaya Indische berwarna putih gading berdiri megah di tengah pekarangan luas yang ditumbuhi bunga sepatu dan pohon gandaria. Atap limasnya menjulang teduh dengan jendela-jendela besar yang selalu terbuka menyambut silir angin dari arah utara. Di sanalah, Annelise van Dijk—perempuan keturunan Belanda berdarah biru dari Haarlem—telah tinggal bersama suaminya selama hampir tiga tahun.
Pagi itu, burung-burung manyar berkicau dari dahan pohon ketapang. Udara masih segar dan embun belum sepenuhnya menguap dari dedaunan. Annelise duduk di kursi rotan. Matanya sibuk membaca deretan kata dari novel Max Havelaar karya Multatuli.
“Ann …. Kamu di mana?” Suara itu datang dari dalam rumah.
Annelise menolehkan kepala ke belakang. “Aku di sini.” Ia meninggikan suaranya agar terdengar.
Dari balik pintu kayu yang menghubungkan ruang kerja dan serambi, muncul sosok Janssen van Dijk. Ia melangkah keluar. Seragam kolonial berwarna krem membungkus tubuhnya. Topi demang tergenggam di tangan kirinya. Sekilas, terlihat pantulan cahaya matahari mengenai kancing emas kecil yang menghiasi dadanya.
“Aku heran kamu sudah terjaga, Ann,” ucap Janssen seraya mengambil tempat duduk di samping istrinya. “Bukankah semalam angin berembus sangat kencang? Kurasa embusan angin dingin itulah yang membangunkanmu.”
Annelise tersenyum tipis mirip lapisan kabut di pagi hari. “Aku nyaris tidak tidur. Mimpi-mimpi datang seperti tamu yang tidak diundang. Mereka berbicara menggunakan bahasa asing, tapi entah mengapa ... aku paham apa yang mereka sampaikan.”
Janssen tertawa kecil. Tangannya terulur membelai kepala Annelise dengan lembut. “Ah, novel itu lagi. Kamu terlalu banyak membaca karya Multatuli, Sayang.”
Annelise sedikit mengangkat wajahnya. Senyum samar masih menghiasi bibirnya. “Multatuli tidak menulis novel, Janssen. Dia menulis luka. Dan luka itu ... adalah apa yang kita lihat setiap hari. Dia menyuarakan kebenaran yang sudah lama dikunci di dalam lemari.”