ZESDE
Donkere Wolken Komen Zelden Alleen
Donkere wolken komen zelden alleen adalah spreekwoord Belanda yang secara harfiah berarti awan gelap jarang datang sendiri. Ungkapan ini menunjukkan bahwa ketika satu hal buruk terjadi, biasanya akan disusul oleh kesulitan atau malapetaka lainnya. Sebuah kejadian tidak menyenangkan sering kali hanyalah awal dari rangkaian penderitaan yang lebih kompleks.
***
Hari mulai merangkak ke ujungnya. Langit yang tadi berselimut merah lembayung, kini menjelma menjadi hamparan biru tua yang ditaburi bintang-bintang. Lengkungan sabit berwarna perak menandakan malam itu merupakan hari keempat dalam kalender bulan.
Annelise berdiri sendirian di serambi. Tatapannya mengarah ke langit. Ia sedang tenggelam dalam keheningan malam. Samar-samar terdengar derap kaki kuda dari kejauhan. Tidak butuh waktu lama, bayangan kereta kuda muncul. Annelise menunduk sedikit. Napasnya terasa lega saat melihat kereta kuda itu memasuki gerbang depan.
Kereta berhenti di halaman berpasir. Seorang pria Belanda bertubuh tegap turun dari dalamnya. Seragam kolonialnya masih dikenakan lengkap, meskipun debu sore menempel di ujung lengannya. Ia menggenggam setangkai mawar merah yang masih segar. Terlihat jelas baru dipetik, mungkin dari taman belakang Kantor Assistent Resident.
Pria itu berjalan mendekat. Ia menyodorkan tangkai bunga kepada Annelise. “Untukmu, Sayangku.”
Annelise menyambutnya tanpa ragu. Cahaya lampu minyak memantulkan kilau emas yang memperlihatkan seluruh isi hatinya. “Terima kasih, Janssen.”
Janssen mengangkat wajah Annelise dengan sentuhan lembut. Ia menunduk dan mengecup kening istrinya. Kemudian, ia bertanya, “Mengapa kamu berdiri di luar, Ann? Udara malam bisa membuatmu sakit.”
“Aku hanya ingin menunggumu,” jawab Annelise lirih. Suaranya menyatu dengan embusan angin yang menyelinap dari sela-sela pohon ketapang.
“Terima kasih, Ann. Aku sangat senang disambut olehmu. Tapi, lain kali pakailah sesuatu yang lebih hangat. Telapak tanganmu membeku.” Janssen menggenggam tangan istrinya. Ia berusaha menyalurkan kehangatan melalui jari-jarinya yang kukuh.
Bibir Annelise terangkat membentuk senyuman manis. Senyum itu seketika meluluhkan kekhawatiran Janssen. “Tidak apa, Sayang. Aku baik-baik saja. Ayo masuk! Aku sudah menyiapkan erwtensoep kesukaanmu.”
Janssen mengangguk. “Baiklah.”
Mereka melangkah berdampingan menuju ruang makan. Langkah mereka tenang, seperti sepasang bayangan yang menari di bawah cahaya temaram. Jejak langkah Janssen yang menggema di sepanjang jalan mengikuti suara sapuan gaun Annelise di lantai.
***
Semerbak harum kayu cendana memenuhi ruang makan keluarga van Dijk. Meja makan panjang berdiri megah, dihiasi taplak renda putih bersih dan sebuah vas kecil dari Delft yang berisi setangkai anggrek bulan. Di dindingnya tergantung lampu teplok berbahan tembaga, memancarkan cahaya kekuningan yang teduh.
Hidangan malam itu tersaji sederhana. Di dalam mangkuk porselen putih berpinggir emas, terhidang erwtensoep yang kental. Ada juga roti gandum hitam dan mentega yang diletakkan dalam wadah perak. Di sisi lain, teko kaca berisi teh melati hangat. Uapnya melayang naik ke udara.
Annelise dan Janssen duduk saling berhadapan. Suara sendok yang menyentuh bibir mangkuk porselen sesekali terdengar. Dentingannya menyerupai bunyi lonceng mungil yang menandai waktu berjalan.