ZEVENDE
De Kat Uit de Boom Kijken
De kat uit de boom kijken adalah spreekwoord Belanda yang secara harfiah berarti mengamati kucing dari pohon. Di balik kata-kata itu, tersembunyi filosofi hidup yang mencerminkan kehati-hatian dalam bersikap. Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ia memilih untuk menunggu, mengamati, dan membaca situasi lebih dulu sebelum bertindak.
***
Angin malam menyapu wajah Janssen di waktu yang bersamaan. Kedatangannya langsung disambut aroma manis getah dari batang-batang tebu yang baru ditebas. Kabut tipis turun menyelimuti bangunan pabrik gula. Lapisan embun tipis itu menelan setiap sudut atap dan cerobong asap dalam balutan abu-abu pucat.
Janssen berdiri membisu. Ia tenggelam dalam lamunan yang tidak terarah. Sejak tiga minggu terakhir, laporan-laporan aneh datang silih berganti. Hampir semua kabar yang singgah di telinganya membawa kesedihan, di antaranya kabar tentang kecelakaan kerja dan kematian buruh pabrik secara misterius.
“Pak Ujang,” panggil Janssen. Ia memfokuskan perhatian kepada pria pribumi yang datang membawa berita duka ke rumahnya beberapa waktu lalu. “Apa ada keganjilan di afdeling timur belakangan ini?”
Ujang—seorang mandor yang telah dua puluh tahun menjaga perbatasan kebun tebu—menjawab dengan ragu, “Anak-anak bilang ... mereka sering mendengar suara perempuan menangis di dekat rumpun bambu.”
Seketika Janssen mengembuskan napas kasar. “Apakah suara tangis itu nyata? Jangan-jangan cuma rumor belaka.”
“Saya belum pernah mendengarnya, Tuan. Tapi, beberapa anak buruh bilang begitu. Terkadang, mereka juga melihat penampakan hantu di sana.” Ujang berusaha meyakinkan Janssen melalui berbagai cerita yang sering didengarnya dari mulut ke mulut.
Kepala Janssen mendongak ke atas. Ia menatap langit sebentar sebelum akhirnya mengarahkan pandangan tajamnya kembali pada Ujang. “Cerita-cerita semacam itu cepat sekali menyebar. Bila dibiarkan, cerita itu akan merusak fondasi nalar. Maka, jalan satu-satunya kita perlu mencari tahu kebenarannya.”
“Betul, Tuan. Saya sendiri merasa gelisah mendengar rumor itu. Banyak buruh takut melewati afdeling timur, Tuan. Terutama sejak mayat Tirto ditemukan dua minggu lalu di sana. Dan sekarang ... kejadian serupa terulang kembali. Korban yang baru juga seorang buruh pabrik.”
“Bawa aku ke tempat kejadian, Pak. Aku ingin melihatnya sendiri,” perintah Janssen meluncur dengan ketegasan yang sulit diabaikan.
Ujang memberi anggukan sebagai tanda ia menanggapi instruksi Janssen. Kedua pria itu pun mulai berjalan beriring menuju lokasi penemuan mayat. Suara langkah kaki mereka terdengar nyaring di tengah silir angin malam yang merayap dari arah bukit.
***
Perjalanan terasa panjang karena tidak tersentuh oleh percakapan, seolah kata-kata bisa mengundang sesuatu dari balik gelagah. Api lampu minyak yang dibawa Janssen berkeredep terkena sapuan angin. Cahayanya mengendap di sela-sela kabut yang melayang rendah.
Mereka akhirnya tiba di tepian sungai kecil yang membelah tanah perkebunan. Udara di sekitar mereka semakin dingin. Suasananya sangat senyap, bahkan tidak ada jangkrik yang berani bersuara.
Di sanalah, tepat di samping rumpun bambu, tubuh seorang perempuan tergeletak tidak bernyawa. Kain kebayanya basah dan tercemar lumpur. Tubuhnya tertelungkup. Rambutnya terurai menututupi separuh wajah. Bagian paling mencolok adalah garis luka panjang di lehernya. Kemungkinan luka itu berasal dari sayatan benda tajam yang dilakukan dengan niat jahat.
Janssen mendekat perlahan. Ia berlutut di sisi tubuh itu, membiarkan cahaya lentera mengenai wajah mayat yang tenang. “Apakah kamu mengenalnya, Pak?”
“Namanya Ningsih, Tuan. Dia lebih akrab dipanggil Euis karena wajahnya yang cantik. Dia salah satu buruh pemilah tebu yang tinggal di barak. Anaknya pendiam, tidak suka banyak bicara.” Ujang mengungkap identitas mayat yang ada di hadapannya.
Rahang Janssen mengeras. Ledakan amarah yang nyaris meletus ia tekan ke dalam. Dengan hati-hati, ia berkata, “Aku yakin dia dibunuh oleh seseorang.”