Selain pintar mengaji, kami para santri, juga piawai menutup diri. Kalau tak percaya, lihatlah yang sedang duduk di lantai samping rak sandal ruang Ustadz itu.
Seorang santri seusia anak kelas 6 SD nampak tersenyum ceria saat bervideo call dengan ibunya. Ada beberapa kali terlihat tatapannya kosong. Dan bingung. Tapi segera ia tutupi dengan tawa kembali.
Siapapun yang tahu apa yang dialami santri mungil itu dua hari lalu, takkan menduga ia sudah kembali tertawa. Dua hari lalu, dia nampak sedih. Berdiam diri di ujung dipan asrama. Menutupi mukanya dengan bantal. Menangis.
Namanya Hafiz, tentu saja bukan nama sebenarnya, sebagaimana yang ia ceritakan pada ibundanya, juga bukan sebenarnya.
Ada beberapa alasan mengapa Hafiz enggan cerita apa adanya. Pertama, mungkin dia terbayang bagaimana repotnya ibundanya itu untuk meneleponnya.
Ibunda Hafiz harus menumpang ke rumah tetangga terdekat yang jaraknya 2 kilo naik ke atas bukit. Di rumah tetangga itulah sinyal baru hadir. Juga colokan. Dan sebagai sopan santun, ibunda Hafiz kerap membawa sayur atau hasil ladang untuk tetangganya itu. Kalau ia ceritakan peristiwa itu, Hafiz khawatir, takkan ada lagi sayur untuk tetangga, takkan ada lagi langkah kaki ibu naik turun bukit, takkan ada lagi senyum ibu yang ia tunggu-tunggu.
Alasan kedua tentu saja karena tetangga ikut mendengar apapun pembicaraan mereka. Sengaja atau tidak. Hafiz tak siap tetangganya tahu apa yang dialaminya. Hafiz tak siap ibunya tahu apa yang dialaminya. Hafiz tak siap dirinya sendiri tahu apa yang sebenarnya dia alami.
Aku pun begitu.
Dan itu menjadi alasa ketiga: Yang dialami Hafiz, terlalu mengejutkan. Khususnya bagiku yang baru kenal dunia pesantren.
Hafiz tidak hanya mengalami kekerasan verbal. Atau fisik. Bullying verbal atau fisik, sudah jadi makanan sehari-hari kami. Aku awalnya terkejut tapi akhirnya terbiasa. Kecuali apa yang dialami Hafiz. Aku takkan terbiasa. Jangan pernah.
Hafiz tidak hanya mengalami kekerasan verbal atau fisik. Hafiz mengalami kekerasan seksual.