Santri Ngantukan

Rafiasamarahmad
Chapter #2

Kekuatan Kata

Malam hari sekitar pukul 20:15, Dulleh baru bisa membersihkan tubuhnya dari debu terminal siang tadi. Begitu pun dengan noda tanah merah selepas menguburkan jenazah ayahnya sore itu, turut melekat pada sebagian tubuh Dulleh, yang harus segera ia dibersihkan. 

Air dari shower mengalir membasahi tubuh Dulleh, menghanyutkan noda dalam tubuhnya masuk ke dalam selokan, tak lupa air mata kesedihan itu pun tersamarkan oleh air mengalir membasahi seluruh wajahnya. 

Pikiran berkecamuk karena skok ditinggal seorang ayah untuk selamanya, membuat Dulleh meraung cukup hebat dalam kamar mandi itu. Walaupun suaranya kembali tersamarkan air yang menetes secera bersamaan kayaknya hujan dari shower itu.

Tapi air yang terus mengguyur kepalanya membuat tangis itu perlahan reda, seakan mampu membuat pikiran berkecamuk itu sedikit mulai menerima kenyataan. Meskipun dalam dasar hati Dulleh masih terpercik sebuah perasaan penuh dengan tanda tanganya, Kenapa dan mengapa? Biarlah waktu yang akan segera menjawabnya. 

Suara air mengalir dari shower itu pun terhenti, handuk putih berbulu tebal yang terlipat dalam sebuah laci turut membantu mengerikan tubuh Dulleh. Lantas Dulleh pun keluar meninggalkan air mata kesedihan yang hanyut ke dalam sebuah selokan bersama noda dari tubuhnya yang sempat menempel itu. 

Sekarang jelas terlihat aura wajahnya lebih cerah meski kedua katanya merah dan sedikit agak bengkak. Dulleh melihat betul sosok dirinya itu pada sebuah pantulan cermin di kamarnya, sembari dirinya secara perlahan mengenakan pakaian untuk kemudian segera menuju kamar ibunya.

Dulleh merasa bahwa ibunya Yuli sama terpukul dengan dirinya melihat orang yang dicintai meninggalkan untuk selamanya. Jadi wajar jika Yuli memilih untuk mengurung diri di dalam kamar sendirian.

Itulah alasannya mengapa Dulleh merasa khawatir pada ibunya karena sejak ia pulang dari menguburkan ayahnya, Yuli ibunya belum juga keluar dari dalam kamar miliknya. Nyatanya tidak hanya itu, perasaan rindu kepada sosok seorang ibu tergurat dalam raut wajah Dulleh. Ia rasanya ingin memeluk sosok seorang ibu setelah lima tahun dirinya tidak pernah bertemu maupun berkabar itu. 

Maka Dulleh pun mulai untuk menuruni anak tengah tangga menuju kamar ibunya yang berada di lantas dasar itu. Dulleh terpaksa memelankan langkahnya saat menuruni anak tangga itu, bukan karena ia gemetar untuk bertemu dengan ibu. Namun deretan foto keluarga berjajar menempel pada dinding saat menuruni anak tangga. 

Ini membuat Dulleh tertegun mematung mengamati foto ketika ayahnya lima belas tahun lalu menggendongnya. "Ayah," ucap Dulleh parau dan air mata kasih sayang kepada seorang ayah seakan tidak akan pernah kering itu kembali mengalir.

"Maafkan Dulleh yah," lanjut Dulleh sambil perlahan berlalu dari foto itu. 

Kedua mata yang berkaca-kaca itu, segera Dulleh mengusapnya seakan ia harus tetap tegar di hadapan ibu karena ia adalah anak lelaki satu-satunya. Setelah sampai di depan pintu kamar ibunya, yang tidak jauh dari tangga itu. Dulleh mulai mengetuk pintu kamar ibunya, 

"Tok tok tok...," suara pintu. 

"Ibu...," ucap Dulleh memanggil dan berharap ibunya dapat membukakan pintu untuknya.

Meski Dulleh berdiri cukup lama menunggu suara ibunya dari dalam. Namun Dulleh tidak sedikit pun mendengar ibunya menyahut. "Apa ibu sudah tidur," terka Dulleh dalam hayi.

Dulleh menduga bahwa ibunya pasti merasa terpukul atas kematian Sachmita suaminya. Tapi sebuah dugaan belum tentu mengarah pada suatu kepastiaan apalagi kebenaran itu sendiri. Dan demi untuk memastikan Dulleh mencoba mengetuk kembali pintu itu.

"Tok tok tok...," suara pintu. 

"Buuu...," ucap Dulleh mencoba memanggil ibunya kembali. 

Tapi ibunya tetap tidak menyahut panggilan dari anak lelakinya namun meski demikian. Dulleh masih dengan dugaan sebelumnya bahwa ibunya pasti merasa terpukul dan memilih untuk tidur. "Mungkin ibu lagi butuh istirahat." Terka Dulleh dan kemudian Dulleh memutuskan untuk berlalu meninggalkan kamar ibunya tanpa ada jawaban dari dalam sedikit pun.

Meski perasaan positif telah menekan prasangkan negatif terhadap ibunya. Tapi Dulleh memiliki sedikit rasa iri terhadap kepergiaan ayahnya Sachmita, "Mengapa ibu begitu larut dalam kesedihan kepada ayah? Bukannya ibu pun harusnya menaruh rasa rindu atas kehadiran diriku ke rumah ini lagi?" Dulleh nampak sedikit bermonolog sambil terus menjauh meninggalkan pintu kamar ibunya.

Mungkin perasaan ini akan terkoneksi dengan perasaan ibu, maka Dulleh pun berbalik melihat ke belakang. Namun pintuk itu pun masih dalam keadaan tertutup rapat. "Huuu, mungkin pagi ibu bisa bertemu dengan ku," ucap Dulleh melanjutkan langkahnya dan benar-benar meninggalkan pintu kamar ibunya.

Sedangkan di luar dugaan Dulleh anak lelakinya. Ia, Yuli ibunya itu, jelas dirinya tidak mendengar suara ketuk pintu anaknya dari luar. Ternyata kedua telinganya tengah tersumbat sebuah handset.

Wajahnya yang sumringah, dan salah satu tangannya memegang handphone, Yuli berkata kepada seseorang di semarang sana,

"Kapan kamu ke sini lagi A?" tanya Yuli kepada seorang pria melalui panggilan video call. 

"Nunggu dikabari kamu sayang," kata seorang lelaki disebrang sana berkumis tebal tanpa sehelai jenggut pada dagunya. 

"Iya deh A," timpal Yuli tanpa sedikit pun gurat kesedihan pada mimik wajahnya. 

Lihat selengkapnya