SANTRI SESAT dan TIGA BIDADARI

Dimas Midzi
Chapter #1

SAKRALITAS BENDERA MERAH PUTIH di MATA SANTRI

Suara gaduh di area depan masjid jamik Pesantren Babus Salam benar-benar tak bisa didengar jelas. Hujan lebat malam ini menabur ornamen kilat cahaya dan sesekali petir membelah angkasa. Hanya sekitar sepuluh santri putra yang piket jaga malam ini berusaha keras menangkap maling yang masuk area pesantren. Teriakan dari masyarakat sekitar membuat piket jaga langsung sigap menghentikan laju maling yang masih penuh kewaspadaan. Salah satu pencuri tangannya menggenggam tali pengikat sapi yang dicurinya, dan sebilah senjata tajam mengkilap setelah bersaa cahaya.

“Maju bakca cong[1] santri kemren sore, kalau tidak sayang dengan nyawa kalian.” Salah seorang maling yang paling besar sambil mengacungkan celuritnya.

“Kalau ada yang berani maju dan menghalangi kami pergi, baiklah kita selesaikan dengan carok[2].” Timpal temannya yang memegang erat tali sapi yang diseretnya.

“Biyaz, bagaimana ini?” suara, Azmi gemetar menandakan nyalinya mulai kendor.

“Kalau begitu apa boleh buat. Baiklah kita bertaruh nyawa saja. Kalau saya yang mati artinya saya syahid, tapi kalau salah satu dari kalian yang mati, itu artinya neraka kalian telah menanti.” Suara, Biyaz meninggi karena petir tiba-tiba menggelegar.

Langkah mereka berdua bagai orang kesetanan, celuritnya yang terhunus disabetkan ke segala arah dengan satu sasaran, Biyaz. Sementara sembilan santri lainnya hanya mematung seolah tak berdaya. Suara masyarakat sekitar kian mendekat, teriakan “Maling-Maling-Maling” terus bersahut. Kian panik saja mereka berdua mendengar suara massa kian dekat.

Nafasnya kian liar mendengus, mereka berdua bergantian mengayunkan celuritnya ke arah, Biyaz. Entah sabetan keberapa, hanya saja saat, Biyaz terdesak di pagar masjid tak memungkinkan dirinya terus menghindar. Pilihannya hanya dua, menangkis lengan pencuri bertubuh tinggi besar yang mengayunkan celurit mengincar bagian perutnya. Atau menangkis celurit yang di arahkan ke sekitar bahunya yang diayunkan oleh pencuri satunya.

Dalam sekian detik dirinya memutuskan untuk menghindari sabetan ke arah perutnya, sambil seketika melayangkan tinju tepat ke arah rahang musuhnya. Sementara celurit yang mengarah ke bahunya benar saja mengenahinya. Namun tendangan kaki kirinya berhasil masuk ke arah rusuk bagian kiri lawannya. Kedua lawannya tersungkur kesakitan, sementara dirinya harus memegangi bahu kirinya yang terkena celurit. Beruntung dirinya memakai jaket tebal sehingga efek celurit yang mengenahinya tak begitu parah, hanya luka yang tak terlalu menghawatirkan.

Saat kedua pencuri itu belum benar-benar bisa berdiri, masyarakat yang telah tiba di tempat dibantu santri langsung meringkus keduanya. Sekaligus memberinya hadiah tinju dan tendangan. Beruntung santri dan masyarakat berhasil diredam kemarahannya oleh kades setempat bersama pengurus pesantren, sehingga tak terjadi penghakiman sepihak oleh massa. Kedua pencuri itu langsung dibawa ke polsek Lenteng mengendarai mobil pesantren. Sekaligus mengantarkan, Biyas ke puskesmas untuk mendapatkan pertolongan dari tim medis.

@@@@@@@@

Pesantren model semi-modern berada tepat di puncak bukit, masyarakat setempat menamainya bukit akor[3]. Tempatnya berada di desa Ellak Laok. Desa terpencil yang diapit oleh beberapa desa di kabupaten Sumenep. Suasana alam yang masih sangat asri, dua sungai mengalir di sisi barat dan timur bukit, dan beberapa sumber alami masih mengalir tenang. Pohonan randu, beringin, akasia, mahoni dan pohon nangka menjadi eksotisme tersendiri di sepanjang jalan menghiasi tegalan masyarakat setempat.

Semenjak matahari berucap salam pisah pada bumi sore tadi. Gelegar petir yang terus saja mengantar perjalanan malam, menjadikan semua penghuni bilik sunyi blok C di pondok pesantren Babus Salam, tak bisa memejamkan mata seperti malam-malam sebelumnya. Maklum saja tempat mereka ada di lantai tiga, lantai paling tinggi di antara kamar yang lain. Blok C, ngetren dengan sebutan bilik sunyi karena sejak beberapa tahun belakangan tak satupun penghuninya yang memiliki teman dekat (tentunya yang berlainan jenis ya pembaca, alias santri putra) seperti kamar lainnya.

Seperti pesantren pada umumnya, di pesantren Babus Salam dilarang keras untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis, bisa-bisa pelakunya terkena hukuman terusir kalau sampai ketahuan. Meskipun ada sebagian dari santri masih saja ada yang nekad untuk menjalin hubungan terlarang itu. Tidak habis fikir memang kenapa para santri berani menjalin hubungan dengan mengambil resiko yang demikian besar.

“Mie, jangan-jangan kamar kita nantinya akan di lakopi kamar jablay?. Bukan hanya bilik sunyi!” Izzah Afkarina, seorang gadis asal surabaya biasa dipanggil, Ririn memecah kesunyian.

“Mungkin saja, Rin karena semua kamar yang ada di pondok ini sepertinya setiap hari membicarakan cowok yang paling ganteng atau paling pintar di kelas masing-masing.” Auliya Shafa Kirani, gadis yang biasa disapa, Alia dengan logat khas jawa tengah juga ambil komentar.

 “Sudahlah, nggak usah menyesali apa yang terjadi dengan kamar ini dan aktifitas kita tiap harinya. Yang penting kita harus selalu berusaha menjadi yang terbaik. Paling tidak untuk diri kita sendiri. Di sini kita bukan tidak laku melainkan kita hanya berupaya untuk mematuhi apa yang menjadi peraturan pondok ini.” Akhirnya, Mei ikut nimbrung dalam dialog super dini hari itu. Sambil sesekali mengucek matanya yang terserang kantuk sejak semula, meskipun tak bisa ia pejamkan karena terganggu suara petir dan hujan.

Saat suara muadzin menggema mesra di telinga semua pendengarnya, angin yang sayu membelai jendela setiap kamar pondok pesantren Babus Salam. Namun suara yang mengundang sejuta harapan dan anjuran tak dapat satupun penghuni bilik sunyi yang mendengarnya. Maklum jam 04.00 mereka baru dapat memejamkan mata saat hujan reda dan suara petir tak lagi berasahutan di ruang terbuka langit yang hitam kelam saat malam tiba membelai angkasa.

@@@@@@@@@@@@

Sirine dan bunyi bel yang dipukul memengkakkan telinga tanda bel upacara bendera melengking di angkasa pondok Babus Salam.

“Yang terlambat ayo cepat masuk lapangan, acara sudah dimulai.” Suara berwibawa ustadz Yusuf al-Qordlawi kepala sekolah menggelegar di pintu gerbang.

“Ayo cepat, biar belajar mengajar cepat dimulai nantinya setelah upacara. Yang telat langsung mengisi barisan paling barat menghadap sebelah timur, biar ketahuan siapa saja yang terlambat. Acara ini adalah untuk membuktikan nasionalisme, patriotisme kita sebagai warga negara. Lihatlah dan renungkanlah sakralitas bendera kebanggaan kita, bendera bukan sekedar kain yang berwarna merah dan putih belaka, namun menyimpan makna yang dalam mengakar di jiwa.” Lagi-lagi, Ust Yusuf al-Qardlowi memberikan instruksi dengan suara lantang berwibawa.

“Jangan main-main dengan upacara semacam ini. Bendera merah putih senyawa dengan nafas pesantren. Kalian sangat faham bagaimana resolusi jihad dikeluarkan, oleh K.H Hasyim Asyari. Inilah salah satu bukti, seharusnya santri merenungi kemerdekaan dan bendera bangsa kita. Santri bukan sekedar penonton dalam memperjuangkan kemerdekaan, namun santri adalah pelaku sejarah.” Kembali kepala sekolah menginstruksikan.

Mengherankan pemandangan senin pagi itu karena tak biasanya, Biyaz telat dalam mengikuti setiap rangkaian kegiatan yang diadakan oleh sekolah atau pondok pesantren. Bahunya yang luka karena celurit tiga hari lalu sepertinya masih berpengaruh. Wajahnya sedikit pucat. Biyas salah seorang penghuni wisma patah hati, kamar paling ngetren di asrama putra yang selalu menghasilkan produk ungulan. Salah satu produknya adalah, Biyaz yang sejak tiga tahu lalu masuk pesantren Babus Salam selalu menyabet rengking prestisius dan menjadi bintang pelajar/siswa Babus Salam.

 “Mereka sebenarnya cocok ya?!” salah seorang dari barisan peserta upacara, seorang siswi berkomentar melihat, Biyaz dan Mei berdiri bersampingan.

Lihat selengkapnya