“Selamat ya, Biyaz akhirnya kamu bisa masuk sepuluh besar lomba karya tulis ilmiah itu.” Azmi yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
“Iya terima kasih juga, ini semua berkat doamu dan support dari teman-teman.”
“Eh, gimana rasanya bekerja sama dengan rivalmu di kelas?, sekaligus sekretaris OSIS yang cantik itu?” Azmi mulai menggodanya.
“Kamu ada-ada saja. Aku ngerjain karya tulis ilmiah bukan untuk ngobrol hal-hal yang nggak penting sama mereka.”
“Tapi kayaknya kamu begitu dekat dengan mereka berdua. Apalagi setelah kita satu kelas. Intinya banyak di antara kita yang mengira ada apa-apa di antara kalian bertiga.” Azmi memberitahukan keadaan teman-teman satu kelasnya dengan semua persepsi masing-masing.
“Ah, itukan prasangka kalian. Ingatlah, menyangka dalam hukum agama boleh saja, asalkan jangan menuduh. Haram hukumnya.”
“Bahkan akhbar mutakhir soal pertunangan, Nunung sama lora[1] Fahmi akan dipercepat.” Azmi mengabarkan berwajah serius.
“Hubungannya sama aku dalam pertunangan itu apa?”
“Jelas ada. Sebab kalian seolah tidak wajar kedekatannya kalau sebatas tim.” Azmi menjelaskan dengan sorot mata serius.
“Tahulah, aku nggak mau mikir yang macam-macam. Yang terpenting aku mau fokus dengan presentasi di UIN Sunan Kali Jogo nanti.”
Perpustakaan dalam minggu-minggu ini seolah menjelma kamar kedua bagi Biyaz. Apalagi setelah mengikuti ujian akhir kelas semester genap lalu kesehariannya kian sibuk dengan persiapan lomba di Jogjakarta. Suasana malam ini seolah malam-malam yang asing buat mereka berdua. Penjaga perpustakaan yang notabenenya sepupu, lora Fahmi tak seramah beberapa bulan lalu. Kabar yang berhembus disebagian kalangan siswa MA Babus Salam tentang kedekatan, Biyaz dan Nunung mungkin menjadi penyebabnya.
@@@@@@@@@@
Wisma patah hati deretan paling barat halamannya satu-satunya akses jalan para tamu menuju kediaman kiai. Para penghuninya pagi ini sibuk mempersiapkan bahan untuk penerbitan mading di MA Babus Salam. Sebab kelas XI-A merekomendasikan kamar mereka menjadi basecamp untuk penerbitan. Kolom opini, essai, dan puisi tugas Biyaz yang mengisinya. Cerpen, bahasa mutiara arab dan inggris jadi tugas Azmi. Pantun, komik, sapa redaksi menjadi tugas pokok Rizal, pemuda asal Nganjuk yang semalam tak bisa tidur karena kakinya bengkak terjatuh dan terkilir saat mandi.
“Biyaz, persiapan yang diputri sudah atau belum ya?” Aqil yang muncul di depan pintu mencari tahu.
“Aku sendiri nggak tahu, Qil. Yang meng-handle di komplek putri, Nunung sama Mei. Sejak beberapa hari ini aku belum sempat koordinasi dengan mereka.” Jawabnya sambil menempelkan kertas opininya.
“Wow.., karya apa ini, Biyaz?” matanya terbelalak melihat opini yang Biyaz tempel.
“Maksud kamu?” Biyaz balik tanya.
“Aduh ini opini berat, Biyaz. Kiai, dan semua guru di sini pasti kaget, bahkan mungkin…..” Aqil tidak melanjutkan bicaranya.
“Mungkin kenapa? Yang namanya opini ya harus berat kendungannya. Harus bisa memberikan pandangan penulisnya tentang masalah yang diopinikan.” Jawabnya enteng sambil nyengir tanpa beban.
“Aduh aku nggak tahulah, terserah kamu aja. Tapi kalau boleh aku saranin, opini kamu ini jangan dipublikasikan di mading saat ini. Bisa-bisa bermasalah.” Aqil memberikan pertimbangan.
“Bermasalah gimana? Inikan opini biasa. Sekedar membongkar bagaimana sebagian orang-orang pesantren secara spesifikasi membabi buta dalam memaknai teologi dan ideologi agama.” Jawabnya menjelaskan bernada serius.