SANTRI SESAT dan TIGA BIDADARI

Dimas Midzi
Chapter #6

HARI TERAKHIR di PESANTREN

Kreekk....!!! pintu ruang UKS terbuka. Lora Fahmi yang berdiri tegap di depan pintu melempar senyum ke arah ketiganya langsung melangkah mendekati Biyaz. Tangannya memegang beberapa kliping surat kabar yang memuat tulisan Biyaz. Matanya keheranan mendapatkan ketiganya bermata sembab karena menangis. Di belakang lora Fahmi semua teman-temannya ikut masuk ke dalam ruangan. Mereka juga tak kalah herannya mendapati mereka berdua masih mengusap air mata yang membasahi pipi mereka. Biyaz yang sejak tadi duduk, berdiri seketika. Lora Fahmi yang memberikan kliping surat kabar itu tersenyum penuh bangga.

“Biyaz, saya tahu apa yang kamu tulis itu benar. Namun sayangnya pesantren ini masih belum siap menerima semua pemikiran kamu. Kalau saya jadi Abah, maka saya akan menjadikan kamu berlian yang siap dipasarkan dikemudian hari dengan harga yang menjulang. Tapi kalian semua tahu bagaimana Abah selama ini memimpin pesantren.” Lora Fahmi memberikan pandangan perihal tulisan Biyaz.

“Tapi bagaimana dengan lomba itu Lora, kalau Biyaz tidak ikut?” sambut Aqil sejurus kemudian. 

“Biyaz, pasti ikut serta ke Jogyakarta mempresentasikan karya ilmiahnya.” Fahmi sambil menepuk bahunya penuh keyakinan.

“Apakah hal itu sudah, Lora konfirmasikan dengan pengasuh?” lanjut Ustadz Yusuf Qordlawi keheranan.

“Belum, tapi kalian tidak usah khawatir, kalau Abah tahu suatu hari nanti, saya akan menanggung semua resikonya.” penuh nada mantap Fahmi sambil memberikan kliping lainya kepada Yusuf al-Qordlawi.

“Alhamdulillah.....” mereka serempak mengucap hamdalah.

Satu persatu teman-temannya meninggalkan Biyaz, Mei, Nunung ketika kepala sekolah dan Fahmi juga meninggalkan ruangan. Mereka bertiga hanya saling pandang. Sunyi dalam beberapa saat melukis ruangan siang itu. Mereka bertiga terkesan kaku untuk membicarakan apapun, layaknya pertama kali mereka bertemu dan berkenalan. Dalam hati Mei maupun Nunung sebenarnya tidak menerima keputusan hukuman yang dijatuhkan kepada Biyaz.

“Kalian berdua tenang saja, sejarah banyak mencatat bahwa kemenangan banyak berawal dari pembuangan, atau sengaja ingin dibungkam dan diasingkan, atau memang dengan sengaja harus hijrah. Kalian lihat hampir semua nabi dan rasul mengalami cobaan yang lebih dari ini. Meskipun aku terlalu kecil untuk dibandingkan dengan para nabi dan rasul. Tapi kalian tahu, mereka akhirnya yang memenangkan peperangan ideologi,  teologi dan peradaban masyarakat yang dipimpinnya.” Biyaz membuka pembicaraan bernada optimis.

“Semoga saja seperti itu!!!” seru Nunung mengamini.

“Iya, semoga saja kamu adalah permata yang akan terus terasah saat di luar sana. Akhirnya semua yang melakukan ini sama kamu akan silau dengan cahayanya. Aku yakin apa yang kamu lakukan itu benar.” Mei mendoakan sambil mengusap air matanya yang membasahi pipinya.

“Rencanamu apa sebelum kita ketemu di Jogya?” sambung Nunung sejurus kemudian.

Lihat selengkapnya