Sementara di kediaman Kiai Zamahsyari, segala persiapan acara Bhăkalan[1] istilah maduranya. Pertunangan anak kedua mereka nanti malam dalam tahap finising. Semua keperluan mereka dalam adat pinangan madura telah rampung dipersiapkan. Semua kerabat dekat kiai Zamahsyari telah datang. Keluarga Nunung juga telah mempersiapkan segala perlengkapan penerimaan pinangan dari keluarga besar pesantren Babus Salam.
Di beranda rumahnya, Kiai Zamahsyari bersama nyiai Fathimah sedang membantu beberapa santri senior mempersiapkan kado istimewa untuk menantu mereka. Seserahan dalam acara pertunangan masyarakat madura tergolong unik. Misalkan, adanya masakan dari beras ketan terbaik “palotan[2]” kamus bahara madura, yang harus dimasak dengan campuran santan, akan menghasilkan masakan palotan yang sangat baik dengan citarasa yang enak dan “kolmet[3]” versi maduranya. Masakan ini diartikan sebagai doa agar pertunangannya seperti wujud ketan yang penuh citarasa terbaik dan merekat. Adanya pakaian lengkap wanita, mulai baju, kerudung, sandal, dan wangi-wangian, adalah sebagai upaya memberikan nilai falsafah bahwa bhăkalan harus selalu melekat seperti pakaian. Pakaian adalah kebutuhan, pakaian adalah penutup bagi anggota tubuh, artinya menolak adanya ikatan baru dalam pertunangan dengan lelaki lain. Begitu pula sebaliknya.
“Fatimah, saya heran dalam tiga malam ini bermimpi aneh terus.” Kiai Zamahsyari membuka perbincangan.
“Mimpi aneh kenapa, Bah?” tanyanya sambil membantu betulkan kertas kado yang dilipat santri di hadapannya.
“Tiga malam ini saya mimpi bertemu Santri yang tiga hari lalu saya usir dari pesantren ini. Fathimah, tahukan tentang hal itu?” tanyanya sambil menggunting pita warna pink untuk pengikat kado buat menantunya.
“Iya saya tahu, Bah” jawabnya simpel.
“Saya bingung, siapa sebenarnya anak itu. Ada misteri yang belum terungkap. Seolah-olah mimpi ini adalah isyarah bagi saya.” nadanya lirih menerawang makna mimpinya.
“Abah, mimpinya bagaimana kok sepertinya sangat serius!?” Nyai Fathimah sambil memandang suaminya yang duduk lemas di depannya.
Para santri senior yang berada di beranda itu juga ikut melihat Kiai mereka. Ada rasa penasaran dengan mimpi yang tiga malam berturut-turut menjadi misteri Kiainya. Najla pengurus ubudiyah putri menyikut lengan teman di sampingnya saat melihat Kiai Zamahsyari matanya menerawang kosong. Wajahnya yang mulai mengeriput memancarkan aroma usia tak lagi muda.
“Fathimah, saya mimpi bertemu kakek, pendiri pesantren ini. Beliau marah-marah sama saya dengan bahasa yang sangat keras lagi kasar. Padahal semasa hidup belum pernah beliau memarahi saya. Beliau duduk di kursi yang sangat indah di kerajaan Majapahit katanya. Sementara saya dibiarkan duduk di atas permadani di depannya. Anehnya, Abi Yazid al-Busthomi, santri yang saya usir malah duduk dengan santai dan bercengkrama dengan raja-raja Majapahit dan Blambangan Banyuwangi. Tak seberapa lama muncullah beberapa laki-laki berjubah, salah satunya mengenalkan dirinya, Ainul Yaqin sunan Giri. Rombongan berjubah itu membawa Abi Yazid al-Busthomi keluar istana itu namun menuju singgasana istana lain yang tak kalah megahnya dengan istana semula. Di istana itu dia menuju singgasana seorang raja. Ini sangat mengherankan, Fathimah. Aku tidak dapat memecahkan misteri ini sendirian.” Ceritanya penuh nada lirih tak mengerti dengan isyarat mimpinya.
“Mungkin itu hanya bunga mimpi saja, Bah.” Jawabnya bernada santai sambil membetulkan pita yang pasang bersama santri putri.
“Jangan ngarang kamu, Fathimah. Kalau ini hanya sebatas mimpi belaka tanpa ada pesan dan makna tertentu. Bagaimana mungkin sampai datang tiga malam berturt-turut?. Ini pasti ada jawaban yang harus aku pecahkan.” Nadanya meninggi mendapati istrinya menjawab dengan begitu santainya.
“Terus harus dimaknai apa mimpi, abah itu?” dengan menundukkan wajahnya penuh rasa takut Nyi Fatimah terus menenggelamkan pandangannya.
“Tidak tahu!!!. Apa mungkin anak itu masih ada garis keturunan bangsawan Majapahit?. Atau mungkinkah anak itu masih satu garis nasab dengan Sunan Giri?, atau wali songo lainnya?. Atau jangan-jangan keputusan mengusirnya dari pesantren ini adalah kesalahan?” dengan nada selidik manganggukkan kepalanya. Namun wajahnya masih terus diliputi kecemasan mencari makna yang tersirat dalam mimpinya selama tiga malam berturut-turut.
“Apa mungkin seperti itu bah?. Sebab saat datang pertama kali nyantri kesini dulu, yang mengantarkan seorang lelaki yang pakaiannya sangat tidak layak disebut pakaian. Bagaimana mungkin dia masih ada keturunan darah biru?. Terus kenapa harus diangap salah mengusirnya kalau memang ada kekhawatiran ada banyak santri yang mengikuti cara berfikir liarnya?” Nyiai Fathimah memberikan pandangan.