Shinta, Ajeng, Dina hanya bisa melongo tak mengerti. Mereka bertiga keheranan melihat tingkah Biyaz yang tiba-tiba seolah orang yang tak bermasalah dengan kesehatannya. Dengan sigap Biyaz langsung menyambar handuk dan Facial Foam serta pasta gigi dalam tasnya. Dalam hitungan menit dia sudah kembali ke kamarnya dan mengganti pakaiannya untuk segera berangkat menuju UIN-SUKA.
Saat ada di depan Auditorium UIN-SUKA Mei, Nunung, Yusuf Al-Qordlawi, Fahmi hanya bisa saling pandang satu sama lain melihat kedatangan Biyaz bersama tiga orang gadis. Gadis-gadis yang penuh keakraban berbincang dengannya. Dari cara berpakaian mereka bertiga pasti bisa ditebak, bahwa mereka tentulah mahasiswa-mahasiswa Jogyakarta.
Sorot mata Mei kian tajam menatap tingkah Biyaz begitu akrab dengan ketiga mahasiswa Jogyakarta yang berjalan di sampingnya. Senyum, ketawa mereka berempat melahirkan tatapan cemburu baginya. Dadanya terasa sesak dan jantungnya berdegup kencang. Bathinnya terus memburu tanya “Siapa mereka bertiga?. Ada hubungan apa dengan Biyaz? Keakraban itu benar-benar membuatku cemburu”. Pertanyaan-pertanyaan itu terus tumbuh dengan liar di ladang bathinnya.
Sementara Nunung yang berdiri di sampingnya sesekali melihat ekspresi Fahmi, bathinnya diserang kebingungan, ketakutan dan darah panas menjalar diseluruh tubuhnya. Rasa cinta yang begitu besar pada Biyaz sekaligus patuh dan taat pada keinginan orang tuanya dengan terpaksa menerima pertunangannya dengan lora Fahmi. Dirinya hanya mematung tanpa ekspresi, namun bathinnya benar-benar hancur melihat kenyataan hidupnya tidak seperti yang dirinya harapkan.
Biyaz dengan wajah pucatnya mengajak ketiga sahabat barunya bersalaman dengan Mei dan Nunung. Ada getar cemburu yang teramat dalam di hati keduanya melihat Biyaz memperlakukan Shinta tak secanggung diri mereka berdua. Ada gurat kecewa di bathinnya karena kedekatan yang ditunjukkan Biyaz tak seperti diri mereka berdua diperlakukan saat masih sama-sama berada di Babus Salam.
“Terima kasih, Mbak telah merawat, Biyaz teman kami.” Mei memulai pembicaraan saat mereka bersalaman.
“Ah itu hal biasa saja nggak ada yang istimewa. Kewajiban kami saling membantu, sebab hanya kami temannya selama disini” Shinta menjelaskan sambil tersenyum penuh aroma rasa persahabatan.