Selepas pemberian hadiah dan ditutupnya acara siang itu, rombongan dari Babus Salam langsung memutuskan untuk ke Pantai Parang Tritis. Sementara Shinta dan kawan-kawannya juga diajak sebagai tour guide siang itu. Mereka bertiga awalnya menolak karena berbagai kesibukan, namun saat Biyaz benar-benar memintanya akhirnya mereka bertigapun mengiyakan. Sekitar satu jam perjalanan menuju Paris sebutan trend untuk pantai itu diisi canda dan pertanyaan-pertanyaan ringan.
Mobil yang mereka bawa terus melaju ke arah selatan kota Jogyakarta. Mei duduk bersebelahan dengan Ajeng sesekali hanya saling lempar pandang saat lora Fahmi dan Dina saling lempar tanya. Kepala sekolah yang jadi sopir sesekali hanya menyela dengan menanyakan arah jalan yang harus ditempuh. Nunung terkadang hanya menyahuti beberapa pertanyaan dari Dina dan Ajeng perihal pesantren yang mereka tempati.
Sementara Fahmi menjadi objek pertanyaan mahasiswa-mahasiswa itu saat mereka tahu bahwa dirinya adalah pewaris tunggal pesantrennya kelak. Pertanyaan yang paling sensitif yang membuat Nunung merasa tak nyaman berada dalam Mobil itu, manakala pertanyaan itu menyangkut pasangan yang akan dipilih oleh lora Fahmi. Mei hanya senyum-senyum miris melihat tingkah sahabatnya merasa dipojokkan dengan pertanyaan itu.
“Pak Yusuf, dua ratus meter lagi kita masuk parkir. Diusahakan ngambil posisi paling ujung. Biar nanti keluarnya tak terlalu sulit.” Shinta tiba-tiba bersuara dari juke belakang.
Hamparan pasir dan debur ombak menjadi pemandangan utama di Parang Tritis. Cuaca yang terik membuat mereka harus meyewa payung kepada para penjaja payung. Sementara Biyaz sibuk mencari toilet untuk mencuci muka dan mengganti pakaian seragam sekolahnya. Beberapa menit berselang saat Mei dan Nunung sibuk menawar ongkos naik kuda keliling Parang Tritis, Biyaz mendekat dengan balutan celana Jens warna gelap dipadu kaos putih bergambar tokoh pewayangan Gatot Kaca. Usut punya usut pembaca, ternyata Biyaz mengidolakan seorang tokoh sakti dalam pewayangan jawa itu.
Kedatangan Biyaz di dekat mereka dengan pakaian yang tak seperti biasanya waktu masih mondok sungguh menakjubkan. Mereka berdua tertegun sejenak. Seolah ada keanehan namun entah apa namanya mereka berdua takut untuk mengistilahkan cakep atau keren, khawatir Biyaz malah menganggapnya hal biasa. Sementara lora Fahmi dan kepala sekolah duduk santai di pinggir pantai saat dua payung hasil sewaan mereka diberikan oleh si-empunya. Mereka berdua lebih menikmati suasana pantai dengan bercengkrama dan berdiskusi seadanya.
“Mei, kalau aku minta kamu nggak naik kuda bisa nggak?” Biyaz tiba-tiba membuka percakapan.
“Maksud kamu, Yaz?” Mei kebingungan karena tukang kudanya setuju dengan harga yang ditawar.
“Iya nggak usah naik kuda. Aku mau ngobrol sama kamu. Tapi aku nggak maksa, kalau kamu mau ya terima kasih, kalau nggak aku tidak memaksa.” Sambil tertunduk, Biyaz kembali menyahut.
“Ya udah Mei, biar aku saja yang naik kuda ini. Kamu ngomong aja sama Biyaz, inikan kesempatan langka ngomong berdua.” Nunung tiba-tiba meningkahi pembicaraan keduanya. Meskipun sebenarnya Nunung sangat berharap bahwa dirinyalah yang diajak berbicara Biyaz. Di dadanya tersimpan kecewa dan letupan cemburu yang kian menyala.
Saat Nunung menaiki kuda sewaannya, “Naik kudanya hati-hati” lora Fahmi yang semula hanya duduk santai di pinggir pantai tiba-tiba bersuara memperingatkan Nunung untuk hati-hati. Ada debur aneh dalam dadanya mendapati lora sekaligus tunangannya begitu memperhatikan keselamatannya.