Kembali diam, hanya itulah kondisi yang paling sering meningkahi mereka berdua. Sementara angin laut terus saja berhembus kencang dan ombaknya yang berlugung-gulung ke tepian seolah membawa gemuruh risalah alam. Ada tangis kecil dalam dada keduanya, perpisahan yang jelas di depan mereka menjelma monster menakutkan. Ingin rasanya Mei berteriak sekeras-kerasnya untuk menhilangkan kecewa dan ketakutannya menjalani perpisahan ini. Karena benar apa kata Biyaz beberapa waktu lalu hanya mukjizatlah yang bisa mempertemukan mereka kembali dikemudian hari.
“Masalah kepindahanku ke Ciputat aku fikir nomor sekian, Mei. Masalahnya adalah aku harus meminta maaf sama kamu. Karena waktu masih mondok aku pernah melakukan satu kesalahan fatal.” Suara itu mengejutkan Mei.
“Maksudmu, Yaz?” kembali menatap wajahnya lekat-lekat meski sebelumnya terlebih dulu mengusap air matanya.
“Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Karena aku pengecut, hanya berani sembunyi dibalik tulisan.” kembali menundukkan wajahnya tak kuasa melawan tatapan Mei yang terus menghiba.
“Aku benar-benar bingung, tak mengerti apa yang kamu bicarakan, Yaz” Jawabnya seketika langit kian kelam dan gerimis mulai turun.
“Kamu-kamu masih ingat ada puisi yang tanpa pengirim jelas waktu kamu jadi santri baru di Babus Salam?” kian bergetar suaranya mengisyaratkan ketakutan.
“Iya masih ingat, bahkan sampai sekarang aku masih simpan puisi itu. Aku benar-benar penasaran siapa empunya. Bahasanya indah, mengandung kedalaman makna yang luar biasa. Aku pernah coba diskusikan dengan guru-guru pengajar bahasa Indonesia di pondok. Beliau semuanya memuji kehebatan puisi itu.” Jawabnya sambil mengernyitkan dahi ketidak mengertiannya sekaligus penasaran yang tertata rapi.
“Benar sampai sekarang kamu simpan?. Sampek segitunya?” bernada penasaran dan kembali mereka berdua saling bertatapan.
Ada riak gelombang resah, pasrah bercampur dalam bathinnya. Biyaz hanya berani menatapnya sebentar saja. Ada kegelisahan yang lebih dari sekedar kata pisah. Dia ketakutan untuk mengakui bahwa puisi itu empunya adalah dirinya. Ketakutan Mei malah tidak respek dan berbagai anggapan yang negatif terhadap dirinya akan muncul saat dia mengkuai puisi itu dirinya yang mengirimkannya. Beberapa saat mereka masih terus saja diam. Biyaz kembali menata keberaniannya untuk mengatakan perihal puisi yang dia kirimkan pada, Mei saat tahun pertama keberadannya di Babus Salam.
“Kamu kalau kena gerimis malah tambah sakit, Yaz nanti. Bisa-bisa kamu tambah masuk angin.” Mei menyodorkan payung yang semula dia pakai.
“Nggak usah, aku sudah lama nggak hujan-hujanan.” payung yang disodorkan Mei dia kembalikan.
“Oh ya kenapa kamu tanya tentang puisi itu?” tatapannya penuh keheranan pada, Biyaz.
“Soalnya puisi itu....” tak kuasa meneruskan kata-katanya, suara seolah tercekat.
“Soalnya kenapa, Yaz. Kamu tahu siapa yang mengirimkan puisi itu?” Mei semakin lekat menatap wajahnya.