Selepas shalat subuh seperti biasa selama 9 bulan keberadaannya di Darus Sunnah, dirinya langsung menuju masjid untuk megikuti pengajian Tafsir bersama Pengasuh. Pengajian itu berlangsung tak begitu lama sebagaimana biasa karena kiai Musthofa harus menghadiri undangan menteri agama.
Dalam hitungan minggu lagi dirinya akan memastikan kelulusan kelas akhirnya sebagai siswa Madrasah Aliyah. Kemungkinan besar dirinya ikut seleksi untuk bisa melanjutkan studi di luar negeri. Bekal hafalan Qur’an 30 juz membuatnya optimis bisa lulus seleksi, apalagi beberapa tulisannya selama berada di Darus Sunnah banyak diterbitkan, bahkan ada yang memenangkan lomba menulis artikel tingkat nasional.
Meskipun tiga bulan sebelumnya dirinya mengikuti debat berbahasa arab di UIN Syarif Hidayatullah yang diadakan Himpunan Mahasiswa jurusan Sastra Arab. Dirinya mentasbihkan sebagai juara dua. Sesuai dengan selebaran brosur acara, maka secara otomatis dirinya termasuk salah satu dari enam orang yang mendapatkan beasiswa empat semester kalau kuliah di UIN Syahid.
Dari enam santri Darus Sunnah yang direkomendasikan oleh kiai Musthofa untuk mengikuti seleksi ke luar negeri adalah dirinya salah satunya. Namun ummi dan kakak perempuannya keberatan kalau dirinya harus kuliah di luar negeri. Biyaz, selalu meminta pertimbangan yang terbaik salah satunya sebelum kiai Musthofa memenuhi undangan menteri pagi itu. Dirinya berfikir apapun yang dikatakan oleh kiainya nanti maka itulah yang akan dia ambil. Begitulah akhlak santri yang selalu tertanam sejak dulu.
“Assalamualaikum....” Biyaz langsung mencium tangan, kiai Musthofa saat beliau muncul di dalam ruang tamu.
“Waalaikum salam. Kamu santri asal Jawa timur yang sering diutus pesantren ikut acara di luar?” pertanyaan kiai Musthofa sambil memegangi kepalanya.
“Iya, Kiai. Mohon sambungan doanya semoga berkah.” sahutnya seraya menunduk penuh takdzim.
“Barokallah....” Timpal kiai Musthofa seraya duduk di kursi tempatnya saat menerima tamu.
Keduanya dalam beberapa saat hanya terdiam. Kiai Musthofa hanya memutar tasbihnya sambil bibir penuh petuah itu komat-kamit membaca wiridan. Sementara Biyaz hanya menundukkan kepalanya tak kuasa melihat wajah lelaki penuh wibawa dan wajah penuh kasih sayang yang ada di depannya. Hatiya hanya fokus membaca ayat Quran surat Yusuf saat Yusuf harus menerima cobaan karena di jebloskan ke dalam penjara.
“Kamu ada keperluan apa menemui saya?. Silahkan diminum tehnya mumpung masih hangat, apalagi sekarang masih pagi jadi akan sangat segar kalau meminumnya.” Kiai Musthofa mempersilahkan, Biyaz meminum teh yang baru diletakkan oleh Khodam[1]-nya.
“Aasifun lii... ana shoim[2].... Saya bingung, Kiai, mohon bimbingan dan pencerahan.” Biyaz, menjawab penuh nada gemetar.
“Oh lagi puasa... bingung soal apa?. Masih segar otaknya dan masih muda kok bingung?” bernada penuh keramahan dan senyumnya terlempar dari kantong bibirnya.
“Soal kuliah, kiai. Seperti yang direkomendasikan oleh, Kiai saya untuk bisa kuliah diluar negeri. Namun ada hal yang tak kalah penting dalam hal kuliah ini, Kiai. Ummi dan kakak perempuan saya menginginkan saya kuliahnya di Indonesia saja. Maklumlah, Kiai, saya anak laki-laki satu-satunya di keluarga saya.” Seraya memaparkan permintaan keluarganya.
“Waman yattaqillaha yaj’al lahu makhroja[3]... apakah kamu sudah mencarinya dengan istikhoroh?. Sebab keunikan dan nilai plus kita sebagai orang pesantren adalah menyandarkan segala perkara kepada Dzat yang maha mengatur perkara. Kita harus melestarikan hal ini, jangan sampai perkara apapun disandarkan kepada sesuatu yang menyimpang jauh dari yang mengatur perkara itu sendiri.” Kiai Musthofa Membacakan surah Al-Tholaq dalil untuk menjawab segala kesusahan bagi manusia yang dengan taqwa akan diberikan jawabannya.