SANTRI SESAT dan TIGA BIDADARI

Dimas Midzi
Chapter #16

BERTEMU LORA FAHMI

Tiga tahun berselang saat Biyaz menggeluti dunia perkuliahan di Jakarta, banyak kegiatan menggiringnya untuk bersinggungan dengan banyak kalangan. Bukan hanya para penikmat pena, namun juga para aktivis organisasi terutama PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) karena dirinya memang memilih organisasi itu sebagai pilihan berorganisasinya, dan aktivis aswaja center yang mewadahi dakwah islam. Di aswaja center inilah dirinya banyak bertemu para pendakwah yang selalu siap meladeni para misionaris dalam beradu argument tentang perbandingan agama. Terkadang dirinya  mewakili beberapa aktavis lainnya untuk menjadi pembicara saat berlangsung diskusi lintas agama.

Puasa ke empat kalinya di Jakarta dan aroma kerinduannya terhadap kampung halaman, membuatnya bertekad pulang kampung untuk berlibur. Hitung-hitung libur semester dan libur hari raya. Tiga tahun berada ditanah rantau sejak keputusan mondok di Darus Sunnah dan langsung melanjutkan di UIN Jakarta tak sekalipun memandu kakinya untuk pulang ke kampung halamannya.

Puasa memasuki hari ke 24, teman satu kosnya banyak yang mengajaknya untuk kembali berlibur ke kampung mereka. Maklumlah tahun lalu dirinya ikut Farhan ke Aceh, saat liburan lebaran meskipun di kota istimewa itu hanya tinggal dalam hitungan satu minggu.

Dua tahun berturut-turut sebelumnya dirinya berlebaran di Padang bersama Nizar teman sekamarnya. Ya walaupun dirinya juga sama seperti tahun lalu hanya seminggu berada disana. Maklumlah dirinya tergolong aktivis yang setiap saat harus siap dengan tugas organisasi. Mulai harus hadir konferensi, mengisi acara pembekalan yunior, bahkan kerjaan yang tak pernah absen adalah memberikan kuliah keagamaan majlis taklim.

Suatu sore saat dirinya hanya sendiri di kosnya, saat berada di depan notebook untuk mempersiapkan materi dialog lintas agama satu bulan mendatang. Bisa dimahfum karena dirinya harus berlibur terlebih dahulu ke kampung halamannya. Jadi saat berada dirumahnya akan sangat sulit menyempatkan menulis bahan presentasinya. Ketukan pintu kos menyadarkannya bahwa ada tamu yang berkunjung.

“Assalamualaikum...” suara di luar penuh keakraban, meskipun dirinya tak tahu pasti sudah yang keberapa kalinya salam itu diucapkan.

“Waalaikumussalam, maaf tunggu sebentar.” Biyaz menyahuti dari dalam kamarnya.

Biyaz memutar otak mengingat-ingat suara yang tak asing di telinganya. Namun file-otaknya tak mampu menjangkau siapa empu dari suara tersebut, meskipun dirinya yakin bahwa suara itu tak asing buatnya.

“Maaf cari siapa ya, Mas?” Biyaz menyapa seorang pemuda yang berdiri di depan pintu kosnya.

“Biyaz, kamu ingat aku nggak?” suara itu mengagetkan, Biyaz saat pemuda itu memutar tubuhnya.

“Lora Fahmi, kapan sampeyan ada di jakarta. Terus tahu dari siapa tempat saya?” Biyaz, nyerocos sambil menyalami dan memeluknya, sekaligus mempersilahkannya masuk ruang tamu.

“Sejak kapan saya berada di Jakarta itu nggk penting. Tapi pertanyaan kamu yang kedua itu perlu diklarifikasi.” Fahmi, sambil duduk di depan Biyaz tersenyum penuh persahabatan.

“Maksud, Lora Fahmi?” Biyaz, memburu tanya.

“Siapa sih di antara sekian banyak Mahasiswa UIN Syahid yang tidak kenal aktivis, Penulis, juga Kiai Muda yang disegani?. Sangat gampanglah dapatin info tempat tinggalmu.” Fahmi, sambil melirik penuh keakraban ke arah Biyaz yang tersipu-sipu disanjung putra kiainya.

“Lora ada-ada saja. Saya ini bukan siapa-siapa di jakarta. Terlalu berlebihan, Lora mengatakan saya seperti itu.” Sergahnya menepis lontaran pembicaraan, Fahmi.

Biyaz menuju dapur menyiapkan teh hangat, dan menyiapkan beberapa makanan ringan dari kulkas. Hanya tersenyum kecil melihat putra kiainya hanya manggut-manggut. Dari depan pintu dapur Biyaz menyahuti dan menunjukkan kamar kecil saat lora Fahmi meminta ijin untuk cuci muka.

Teh hangat dan makanan ringan sudah ada di meja ruang tamu. Keduanya kembali berbincang santai perihal Babus Salam dan semua santri yang ada saat itu. Dengan sangat akrab, Fahmi malah mempertanyakan calon pendamping, Biyaz kelak. Kontan saja pertanyaan itu membuat wajahnya pucat, maklumlah hampir tiga tahun ini tak pernah terlintas tentang itu. Dirinya terlalu asyik dengan dunia perkuliahan dan kegiatan lainnya.

“Coba aku punya saudara perempuan, pasti aku mau kamu persunting, Biyaz.” Seloroh, lora Fahmi tiba-tiba.

“Namun sayangnya, Lora gak punyakan?” Biyaz, menimpalinya dan membuat keduanya tertawa bersama.

Fahmi menjelaskan tujuannya datang ke Jakarta untuk mengundang Biyaz memberikan Hikmatun Nikahnya yang akan digelar beberapa minggu menjelang. Dengan harapan itulah dia secara pribadi dating langsung ke Jakarta.

Lihat selengkapnya