SANTRI SESAT dan TIGA BIDADARI

Dimas Midzi
Chapter #17

BACK TO BABUS SALAM

Lima belas hari keberadaannya di rumah, meski seolah air rindunya terus mengalir pada perempuan suci yang melahirkannya. Tak pernah lelah setiap munajat malamnya selalu membanjiri langit dengan doa sapujagad, dan khusus bagi kesuksesan putra keduanya. Ummy-nya yang setiap saat selalu memberinya suapan nasihat, sekaligus kakak perempuannya yang dalam waktu tiga tahun mengejutkan juga telah menghafal 25 juz al-Quran.

Tiga tahun perpisahannya dengan adik semata wayang yang selalu menjadi suntikan semangatnya, telah mengilhaminya untuk menghafal al-Quran seperti Biyaz yang hampir setiap malam di doakannya. Umurnya yang sudah 25 tahun benar-benar telah membawanya ke arah kedewasaan. Siraman rohani dan pengalaman hidup yang membuatnya selalu tegar dan terasah kearifan berfikir dan kedewasaannya. Sejak ayahandanya wafat hampir empat tahun lalu membuatnya bertekad untuk tidak menikah sebelum adik satu-satunya sukses dengan kehidupannya.

Sementara waktu lima belas hari saat pagi sampai siang, Biyaz habiskan untuk bersilaturahmi dengan sanak famili dan juga tetangga dekatnya. Saat malam dirinya lebih banyak dihabiskan untuk mendengarkan dan meneliti bacaan Quran Najma yang secara khusus memintanya untuk muraja’ah atau talaqqi kepadanya. Karena Najma sangat menginginkan bacaan Qurannya memiliki sanad kepada K. Ya’Kup dan kepada K. Bashori Alwi Malang. Karena hafalan, Biyaz memang telah mendapat ijazah tahfidz quran dari keduanya.

Tanggal 15 syawal sore, Biyaz mengutarakan keinginannya untuk membawa Najma dan ummynya sowan dan menghadiri pernikahan, lora Fahmi dan Nunung di Madura. Keinginan itu mendapat sambutan positif dari kakak dan ummynya. Sekitar jam 19.00 Biyaz sengaja meminjam mobil pamannya untuk mereka kendarai menuju Sumenep. Perjalanan sekitar 10 jam menuju sumenep akan ditempuhnya. Jadi untuk menjaga stamina dan kesehatan ummynya, dia lebih memilih untuk membawa mobil sendiri menuju Madura.

Jam 07.00 saat selepas shalat dhula di masjid Agung Sumenep, Biyaz bermaksud mengajak sarapan kakak dan ummynya sebelum berangkat kekompleks pesantren Babus salam. Istirahat yang cukup di alun-alun kota Sumenep sejak subuh tadi membuat ketiganya memilih jalan kaki di alun-alun untuk membeli nasi di ujung pojok tenggara alun-alun kota.

Sementara suara al-Quran yang diputar dipengeras suara Masjid Agung terus saja menggema pagi itu. Suara khas Muammar ZA menyela keras diantara bising kenalpon mobil dan motor yang berlalu-lalang di jalan raya sekitar masjid dan alun-alun kota.

                                                           @@@@@@@@@

Hatinya bergetar hebat saat mobil yang dikendarainya mulai memasuki dusun yang masih tak berubah. Suasana dengan hijauan jagung dan pohon randu yang masih banyak tinggi menjulang. Pemandangan itu masih tetap seperti tujuh tahun silam. Hanya jumlah rumah saja yang terus bertambah banyak di samping kiri kanan jalan yang menuju pesantren, warung makan dan minuman juga semakin banyak berjejer. Matanya terus merekam keadaan disekitar pesantren Babus Salam, dengan sangat lambat mobil yang dikendarainya terus menuju halaman parkir tamu di halaman masjid pesantren. Ucapan selamat datang yang terpampang di pintu gerbang pesantren masih tetap seperti awal kali menjadi santri disana.

Ummy dan kakak perempuannya memperhatikan gedung pesantren yang telah banyak berubah dari awal Biyaz mengirimkan fotonya saat masih awal-awal nyantri disana. Banyak gedung yang telah direnovasi. Kompleks santri juga sudah bertambah banyak lokal gedungnya. Mungkin inilah salah satu kemajuan yang telah dicapai oleh pesantren ini.

Hampir disemua sudut pesantren Babus Salam dihias dengan nuansa janur kuning yang melengkung serta ucapan selamat hampir dari semua orang-orang memiliki kedudukan tinggi di kebupaten ini. Mulai dari bupati, sekda, ketua Ansor dan NU kabupaten serta camat ucapannya terpampang jelas dari karangan bunga yang telah terhias rapi. Sementara suasana altar pengantin dibuat menghadap dua dimensi, sebab tamu wanita dan pria dibuat berbeda. Khusus untuk putra berada di halaman kompleks putra dan tamu putri berada di halaman rumah kiai.

Biyaz terus mencari sosok Azmi, Aqil teman seangkatannya yang tak ketahuan batang hidungnya. Matanya terus saja melacak tiap sudut dari pesantren itu namun tak satupun dia menemukan teman seangkatannya. Sementara santri yang dia temui tak satupun yang dia kenal. Langkahnya terus menuju kamar penuh kenangan, kamar yang menjadi saksi bisu setiap pergolakan bathin dan proses menulisnya sejak masuk MA Babus Salam. Wisma patah hati adalah setu nama yang terus menjadi kenangan dalam hatinya. Apalagi tepat di depan kamar itu terpajang pelaminan yang sangat megah yang nantinya akan ditempati oleh sabahatnya, Nunung dan lora Fahmi.

“Assalamualaikum...” suara serak penuh wibawa terdengar di sampingnya

“Waalaikumsalam, Ustadz Qardlawi...” matanya tajam melihat ke arah suara yang mengagetkannya. Kontan dirinya langsung melangkah menyalami dan menciumi tangan lelaki itu penuh takdzim.

Barokallahu fii umrik,[1] Biyaz” doanya sambil meneteskan airmata mengisyaratkan kerinduan.

“Amin ya Rabb” sambutnya dengan bibir bergetar, matanya berkaca-kaca.

“Selamat datang di pesantren ini kembali. Aku yakin kamu sudah sangat rindu dengan tempat ini. Dengan semua orang yang mengagumi dan membencimu meskipun mereka hanya mampu kagum dan sembunyi dari kenyataan.” Lelaki itu sambil memegangi tangannya dan menariknya untuk segera menuju patilasan pengasuh dan pendiri pesantren.

Dirinya hanya mengangguk dan memberikan isyarat kepada ummy dan kakak perempuannya mengikutinya dari arah belakang. Kedua perempuan yang paling dia hormati hanya menganggukkan kepala tanda mengerti isyarat darinya.

Sesampainya di patilasan pendiri pesantrennya. Biyaz mengantarkan Ummy dan kakak perempuannya ke tempat khusus pengunjung wanita. Sementara dirinya dan ustadz Yusuf langsung menuju tempat paling utara berdekatan dengan nisan pendiri pesantren babus Salam.

Matanya terpejam seperti yang biasa dia lakukan kalau lagi berada di patilasan. Menyatukan rasa, mengolah cipta. Kebiasaannya sejak kecil itu yang mendorong dirinya sering dianggap aneh oleh teman-temannya karena sangat betah berlama-lama di patilasan. Setelah menghatamkan Munjiyat dirinya bermaksud segera menghadap pengasuh dan lora Fahmi. Ustadz Yusuf yang sejak semula sudah berada diluar menunggunya bersama kakak dan umminya.

Setelah ngaji di patilasan pendiri pesantren keempatnya langsung meninggalkan patilasan pendiri pesantren menuju kediaman pengasuh. Sesampainya di halaman kediaman pengasuh mereka disambut oleh Fahmi untuk segera berada di ruang tamu keluarga. Keempatnya dipersilahkan duduk selayaknya keluarga besar pesantren. Biyaz kebingungan mendapati perlakuan terhadap dirinya dan keluarganya begitu istimewa,

“Biyaz, abah sendiri yang pesan tadi sama saya agar kamu dan rombongan ditemui di sini.” Fahmi sambil berlalu memanggil para khodam untuk mempersiapkan minuman.

Dari dalam kediaman terdengan langkah dan batuk khas dari kiai Zamahsyari. Kiai yang sudah lebih setengah abad itu umurnya dipapah oleh Fahmi dan di sampingnya nyiai Fatimah istrinya. Senyumnya mengembang sambil memanggil salam setelah berada di depan pintu. Suaranya yang khas masih sangat tajam ditelinga Biyaz. Dalam bathin Biyaz terus berkecamuk mengingat kejadian empat tahun silam.

Lihat selengkapnya