Lazuardi pagi menghempaskan aroma bebunga di pekarangan rumah sederhana penuh bunga melati dan mawar. Alika Maulaya Syakira menyandarkan tubuhnya di kursi goyang terbuat dari bambu. Matanya menerawang jauh seolah mengingat-ingat kejadian yang pernah terjadi dan menerka fenomena saat ini. Rumah sederhana itu sengaja ia pilih untuk tempat tinggalnya dalam beberapa minggu ke depan untuk menghadiri acara temu tokoh dan aktivis perdamaian umat beragama yang akan berlangsung lima hari.
Tempat sederhana yang ditempati adalah sebuah rumah kos yang disediakan oleh seorang janda paruh baya. Jarak kos itu hanya ditempuh 10 menit jalan kaki ke aula atau tempat acara berlangsung. Keberadaannya dikos itu membuatnya merasa memiliki rumah kedua setelah rumahnya harus hilang diterjang longsor dan banjir. Dan dirinya merasa betah karena pemilik rumah itu sangat ramah menganggap dirinya seperti anaknya sendiri, maklumlah anak dari ibu Nurmala semuanya ada di luar kota bersama keluarganya masing-masing.
Matanya kembali sembab mengingat kondisi rumahnya yang seolah hilang ditelan bumi. Ibu dan ayahnya juga meninggal dalam kejadian tragis itu. Tanpa disadarinya ada tatapan sayu penuh haru dari jendela. Ibu Nurmala memperhatikannya sejak beberapa menit lalu. Alika Mailaya Syakira memang telah menceritakan kondisi keluarganya yang telah tiada saat longsor dan banjir bandang menerjang desanya.
Bayangan empat setengah tahun lalu begitu menyesakkan dadanya. Kejadian itu telah membuatnya menjadi sebatang kara di dunia ini. Ada pembelajaran takdir luar biasa yang telah didesain oleh Allah dengan itu semua. Yang paling bisa dia rasakan adalah bagaimana mampu bersabar dan bertahan dalam kondisi terpuruk seperti apapun. Tekadnya untuk menghadiahkan bebunga dan haruman syurga buat kedua orang tuanya membuatnya bisa tegar dan meneruskan studi sastra Arab di Malaysia Utara University.
Empat tahun dirinya berada di negeri Jiran telah mengasah kemampuan menulis dan menghafalnya. Banyak tulisannya yang berbahasa Arab dan Ingris di terbitkan. Yang lebih membuatnya bisa berbangga diri, selama empat tahun juga dirinya mampu menghafalkan 20 Juz al-Qur’an. Kesibukan menjadi penulis dan mahasiswa di negeri jiran tak juga membuatnya lelah untuk menghafal. Mutivasi menghafalkan Qur’an juga dirinya dapatkan karena seorang lelaki luar biasa yang mampu membuatnya terbius dalam kenikmatan rasa.
Nama Aby Yazid Al-Busthomy seketika melintas tanpa pamrih dalam otak dan hatinya. Bayangan lima tahun silam saat berada di Pondok Babus Salam sampai pertemuan di Pantai Parang Tritis dan pertemuan terkahirnya di Jogjakarta begitu kuat memenuhi ruang hatinya.
“Masihkah engkau mengingatku wahai lelaki angkuh namun menawan?. Masihkah dirimu mengingat sumpah dan janjimu di Jogjakarta lima tahun lalu?. Atau mungkinkah engkau sudah memiliki bidadari yang telah engkau manjakan setiap saat?. Pernah sadarkah dirimu jantungku mau lepas seketika aku tiba-tiba ada dalam pelukanmu saat aku ketakutan dengan suara petir?” Dirinya terus saja membathin sendiri.
“Ya Allah kalau seandainya boleh hamba berkeluh kesah. Maka engkaulah yang paling tahu kesahku, bahwa hamba sebenarnya sangat simpatik dan mengaguminya lebih dari takaran kemampuan hamba. Sejujurnya hamba berharap suatu saat nanti bisa bertemu dengannya dan menagih sumpahnya.” Berlinangan airmata Alika Maulaya Syakira memutar memory kebersamaan dengan Biyaz selama mondok dan di Jogjakarta.
“Masihkah dirinya sendiri tanpa bidadari lain disisinya ya Rabb?. Hamba benar-benar berharap dirinya yang menjadi imam dalam hidup hamba. Semoga ini bukan permintaan yang terlampau berlebihan ya Rabb.” Seketika dirinya menghentikan doa dalam hatinya saat sadar ada sentuhan lembut seorang wanita paruh baya di bahunya.
Terburu-buru dirinya menghapus airmatanya. Sambil mempersilahkan Ibu Nurmala untuk duduk juga di bangku yang serupa di samping kanannya. Dengan senyumnya teduh ibu Nur biasa dia dipanggil langsung mengiyakan apa yang dipinta Mei.
“Nak, kenapa melamun sambil menangis?. Apa yang terjadi padamu. Kalau tidak keberatan dan mengangap, Ibu orang yang dapat dipercaya, maka ceritakanlah apa yang sedang kamu hadapi dan kamu fikirkan. Siapa tahu, Ibu dapat membantu.” Ibu Nur membuka pembicaraan seraya membetulkan posisi duduknya.
“Tidak apa-apa, Ibu. Hanya fikiran saya menjadi terbayang kembali kejadian yang telah saya ceritakan tempo hari sama, Ibu. Perihal apa yang telah menimpa keluarga saya empat tahun silam. Kejadian itu menjadi begitu hebat mendera fikiran dan hati saya semenjak saya datang lagi ke tanah jawa ini.” Ceritanya penuh nada haru dan matanya berkaca-kaca.
“Tidak ada hal lain yang kamu sembunyikan, Nak?” matanya penuh selidik melihat tajam.
“Sebenarnya bagaimana ya, Bu?” Mei tak mampu meneruskan pembicaraannya.
“Apanya yang bagaimana?. Ibu ini sudah banyak makan asin garam kehidupan, jadi ibu yakin kamu masih ada yang disembunyikan dari, Ibu. Ibu tidak memaksa kamu menceritakan apa yang sebenarnya kamu sembunyikan. Kalau memang hal itu sengat privasi dan tidak memerlukan orang lain tahu tentang itu.” sangat bijak ibu Nurmala menyampaikan pesan kepadanya.
“Sebenarnya saya mengingat seorang lelaki yang sejak beberapa tahun lalu membuat saya benar-benar simpati. Namun sayangnya setelah perpisahan kami lima tahun silam kami nggak ada komunikasi sama sekali. Memang sekali-kali dia mengirimi saya surat semasa masih mondok. Namun sayangnya saya tidak bisa membalas suratnya karena tidak mencantumkan alamatnya. Hanya agenda yang dia serahkan semasa masih mondok dulu yang tetap saya simpan. Bahkan selain orang tua yang telah lebih dulu mangkat menghiasi doa, dialah orang yang juga selalu menghiasinya. Apakah saya terlalu naif, Buk sebagai wanita?. Atau apakah saya terlalu lemah dan terlalu berharap?” matanya sambil meneteskan airmata terus menerawang jauh mencoba menjangkau dimana lelaki yang dimaksud berada.
“Tepat berarti sangkaan, Ibu soal lamunanmu. Kamu tidak naif dan terkesan lemah karena banyak berharap apalagi dengan doa tulus. Justru, Ibu salut dengan jalan yang kamu lalui selama ini. Karena tidak gampang menyimpan perasaan itu sendirian, dengan kondisi keluarga dan takdir yang begitu hebat mengguncang hidupmu. Apalagi orang yang kamu sukai tidak jelas rimbanya. Ibu yakin suatu saat nanti kamu akan benar-benar dipertemukan dengannya.” Senyumnya yang ramah semakin menyejukkan hati Mei yang mulai memeluk perempuan hebat disampinya.
Keduanya terus asyik dalam suasana haru. Tak ada suara yang terlontar dari keduanya barang beberapa detik. Mei sesenggukan menahan haru, kehangatan wanita di sampingnya menggantikan pelukan ibunya yang telah tiada.
“Siapa lelaki yang beruntung itu, mendapatkan cinta wanita sebaik kamu?. Ibu yakin lelaki itu akan sangat bahagia seandainya tahu dicintai orang sebaik kamu. Seandainya, Ibu punya anak laki-laki, Ibu mau mengambilmu menjadi menantu. Sayangnya semuanya anak ibu perempuan.” Ibu Nurmala mencubiti pipi gadis disampingnya penuh gemas dan bernada menggoda.
“Lelaki itu sangat hebat dimata, Mei. Dia seorang Huffadzul Qur’an 30 Juz, orangnya juga pemikir hebat, terus dia seorang yang suka baca dan penulis berbakat. Namanya, Aby Yazid al-Busthomy biasa dipanggil, Biyaz. Entah sekarang dia masih sendiri atau sudah bersama gadis lain. Saya sudah tidak tahu kabarnya sejak pertemuan terakhir di Jogjakarta lima tahun silam.” Penuh ledakan kalut dan kerinduan yang benar-benar kronis matanya terus penuh airmata.