“Mei, kamu aja yang jadi imam shalat.” Ucapan Cristi tiba-tiba mengagetkan Mei yang berjalan di sampingnya menaiki tangga dari tempat Wudlu’ berada.
“Apa tidak sebaiknya mahasiswa-mahasiswa sini saja yang jadi imam shalat kita. Soalnya yang afdlal dalam anjuran agama adalah tuan rumah, bukan tamu.” Sahutnya seraya melihat empat mahasiswa di belakangnya.
“Jangan kami, soalnya kami nggak sefaham, Mbak dalam ilmu agama. Di jejak rekam kehidupan, Mbak, yang kami baca jelas-jelas terpampang lulusan pesantren dan melanjutkan kuliah dijurusan sastra arab. Beasiswa ke luar negeri lagi.” Ana seolah menjadi perwakilan khusus ketiga mahasiswa lainnya.
“Yups saya juga setuju. Karena pesantren dan jurusan yang kamu ambil saat kuliah menjadi legitimet keapsahan kamu menjadi imam shalat buat kami berlima.” Cristi menyetujui saran Ana Bahrain.
Suasana masjid yang sedikit hening, mereka berenam ada di Shaf ke enam dalam masjid. Mei yang memulai takbiratul ikhrom diikuti mereka berlima di belakangnya. Suaranya yang merdu membaca surat al-Mulk yang berjumlah 30 ayat. Lima belas ayat rakaat pertama dan lima belas ayat berikutnya diselesaikan pada rakaat kedua. Suaranya seolah mengandung sihir maha dahsyat sehingga kelima makmumnya berderai airmata manakala dirinya membacanya.
“Mbak Cristi, baiknya nunggu shalat Isya’ berjamah disini atau kita cari makan malam dulu nggak ya?. Soalnya Isya’ sudah hampir masuk waktu.” Mei membuka dialog ketika mereka berdua hanya duduk santai di tangga Masjid.
“Enaknya menurutku makan malam aja dulu, tapi kamu gimana?. Soalnya aku males makan di hotel makanannya nggak mengundang selera. Terlalu enak dan suasananya nggak mencerminkan sifat sosialis sama sekali.” Cristi berkomentar makanan hotel yang menurutnya terlalu mewah.
“Kalau begitu enaknya cari makan yang lesehan aja. Saya kira di sekitar kampus ini banyak yang lesehan, atau gimana kalau sambil jalan-jalan ke depan kampus lain. Misalkan di daerah Dinoyo, disana ada kampus Unisma. Kayaknya di sana juga banyak yang lesehan.” sambil memberi pertimbangan tempat makan malam yang akan mereka tuju.
“Aku sih oke-oke saja makan dimanapun. Tapi persoalannya kita mau naik apa kesana?” Cristi seolah kebingungan dengan usul Mei.
“Mei, kamu aja yang jadi imam shalat.” Ucapan Cristi tiba-tiba mengagetkan Mei yang berjalan di sampingnya menaiki tangga dari tempat Wudlu’ berada.
“Apa tidak sebaiknya mahasiswa-mahasiswa sini saja yang jadi imam shalat kita. Soalnya yang afdlal dalam anjuran agama adalah tuan rumah, bukan tamu.” Sahutnya seraya melihat empat mahasiswa di belakangnya.
“Jangan kami, soalnya kami nggak sefaham, Mbak dalam ilmu agama. Di jejak rekam kehidupan, Mbak, yang kami baca jelas-jelas terpampang lulusan pesantren dan melanjutkan kuliah dijurusan sastra arab. Beasiswa ke luar negeri lagi.” Ana seolah menjadi perwakilan khusus ketiga mahasiswa lainnya.
“Yups saya juga setuju. Karena pesantren dan jurusan yang kamu ambil saat kuliah menjadi legitimet keapsahan kamu menjadi imam shalat buat kami berlima.” Cristi menyetujui saran Ana Bahrain.
Suasana masjid yang sedikit hening, mereka berenam ada di Shaf ke enam dalam masjid. Mei yang memulai takbiratul ikhrom diikuti mereka berlima di belakangnya. Suaranya yang merdu membaca surat al-Mulk yang berjumlah 30 ayat. Lima belas ayat rakaat pertama dan lima belas ayat berikutnya diselesaikan pada rakaat kedua. Suaranya seolah mengandung sihir maha dahsyat sehingga kelima makmumnya berderai airmata manakala dirinya membacanya.
“Mbak Cristi, baiknya nunggu shalat Isya’ berjamah disini atau kita cari makan malam dulu nggak ya?. Soalnya Isya’ sudah hampir masuk waktu.” Mei membuka dialog ketika mereka berdua hanya duduk santai di tangga Masjid.
“Enaknya menurutku makan malam aja dulu, tapi kamu gimana?. Soalnya aku males makan di hotel makanannya nggak mengundang selera. Terlalu enak dan suasananya nggak mencerminkan sifat sosialis sama sekali.” Cristi berkomentar makanan hotel yang menurutnya terlalu mewah.
“Kalau begitu enaknya cari makan yang lesehan aja. Saya kira di sekitar kampus ini banyak yang lesehan, atau gimana kalau sambil jalan-jalan ke depan kampus lain. Misalkan di daerah Dinoyo, disana ada kampus Unisma. Kayaknya di sana juga banyak yang lesehan.” sambil memberi pertimbangan tempat makan malam yang akan mereka tuju.
“Aku sih oke-oke saja makan dimanapun. Tapi persoalannya kita mau naik apa kesana?” Cristi seolah kebingungan dengan usul Mei.
“Tenang mbak disinikan banyak angkot. Kita naik angkot saja.” Sergahnya seolah mengerti kebingunagn Cristi.
“What Nggak salah dengar aku Mei?. Bahaya tahu ikut angkot malam-malam begini. Kamu nggak tahu ya kalau banyak pelecehan dan kriminalitas justru karena angkot?. Aku kayaknya nggak setuju deh kalau seperti itu.” Cristi membelalak nggak percaya dengan usul Mei, namun seketika justru dibalas senyum renyah begitu saja olehnya.
Bayangan setahun silam kembali terlintas. Trauma yang dialaminya manakala naik angkot terlintas kembali. Bayangan mencekam saat-saat dirinya hampir mejadi objek kriminalitas dan pemerkosaan dari salah satu jamaah gereja yang menyimpan dendam padanya. Demdam karena cintanya di tolak dan entah apalagi, namun yang jelas mulutnya nyerocos begitu saja. “Engkau menghianati Tuhan Yesus pantas mendapatkan perlakuan semacam ini. Nyawamu jadi barang pasar dan kehormatanmu serupa rongsokan. Malam ini akan aku lunasi semua keinginanku padamu” begitulah suara Thomas salah seorang jamaah gereja yang sering bersamanya semasa masih satu agama, sangat jelas dirinya dengar. Karena sumpah serapah lainnya menghilang begitu saja tertindih tangis dan teriakannya.
Beruntung bencana malam itu tak benar-benar terjadi karena ada beberapa warga yang datang menolongnya saat mendengar teriakan. Sopir angkot yang sudah kompromi dengan Thomas mendapatkan ganjaran berupa gebukan dari warga dan diserahkan ke pihak berwajib. Thomas dalam kejaran polisi tiga hari setelahnya juga berhasil ditangkap.
“Mbak, jangan ketakutan begitu. Insyaallah kalau di Malang nggak bakalan ada kasus semacam itu. Percaya deh, saya jamin nggak bakalan terjadi apa-apa.” dengan ekspresi santai Mei langsung menuju jalan raya di samping masjid Fachrudin yang hanya berjarak sekitar 25 meter.