SANTRI SESAT dan TIGA BIDADARI

Dimas Midzi
Chapter #22

PUISI ITU ADA KEMBALI

Acara temu tokoh dan pemerhati kedamaian umat beragama berlangsung meriah dengan peserta dua ribu lima ratus lebih. Acara yang sangat fantastis dengan peserta yang membludak seperti itu. Menteri Agama RI yang membuka acara serta dihadiri oleh hampir semua rektor se-Malang raya, tokoh agama dan pengurus ormas yang ada.

           Pada hari ketiga perhelatan acara akbar seperti ini tak membuat semua peserta susut. Dari hampir semua pemateri yang dihadirkan mereka mendapatkan kepuasan dan mendapatkan banyak pengetahuan. Setidaknya toleransi antar umat beragama dan indahnya kedamaian.

           Sekitar jam 07.30 pagi, acara digelar kembali. Moderator yang memandu acara pagi itu adalah ketua BEM[1] Unisma[2] Malang. Mohammad Zamzami namanya. Materi “Menyelamatkan Umat Manusia dengan Pemahaman Agama yang Komprehensif” sengaja dipilih Mei untuk acara pagi itu. Apalagi dirinya ternyata digandengkan dengan Maria Cristi yang berbicara panjang lebar dengan Materi “Generasi Muda Tanpa Sex Bebas.” Keduanya bergantian menyampaikan materi pagi itu. Keduanya dijadikan pemateri karena dianggap menjadi tokoh muda yang menginspirasi dalam menulis, ataupun mengikuti kegiatan-kegiatan sosial yang berskala nasional maupun internasional.

           Alika Maulaya Shakira yang biasa dipanggil Mei misalkan, menjadi mahasiswa di kampusnya yang selalu mengikuti pertukaran mahasiswa ke Australian, Kanada, Qotar, dan mengikuti kegiatan sosial berskala internasional, di Afganistan dan Suriah. Sementara Cristi sering menjadi relawan ke luar jawa untuk sosialisasi kesehatan, pernah di pedalaman papua, kalimantan, dan Sumatera. Bahkan pernah ke Thailand selatan untuk menjadi relawan kemanusiaan.

           Setengah jam berikutnya, Biyaz yang baru tiba dari stasiun malang langsung menuju tempat acara. Dirinya dijemput oleh seorang sahabat yang dikenalnya lewat email. Baharuddin namanya, pemuda asal Sulawesi yang banyak berdiskusi perihal keagamaan lewat email. Tanpa sepengetahuan Baharuddin sebenarnya Biyaz juga akan dijemput oleh salah seorang panitia pelaksana. Mahasiswi UIN Maliki yang ditugasi khusus untuk menemuinya di stasiun, Hikmatul Ulya namanya.

Sekitar jam sembilan tiga puluh menit, Biyaz bersama Bahar memutuskan untuk masuk tempat acara berlangsung. Informasi yang didapat dari panitia, acara khusus hari ketiga memang semuanya dari sosok mahasiswa luar dan dalam negeri yang menginspirasi. Ulya bersama beberapa panitia putra sengaja bersama Biyaz dan Bahar untuk mengikuti acara yang sedang berlangsung. dari Ulya dan teman-temannya sesama panitia, Biyaz banyak mendapatkan info tentang kampus UMM dan beberapa kampus lainnya di Malang.

Sesampainya di Dome, Biyaz hanya bisa duduk di barisan paling belakang bersama jejeran beberapa panitia. Tepuk tangan meriah saat penyaji memberikan hadiah berupa bingkisan kecil kepada penanya pertama berlangsung. Dari riuh rendah suara di Dome itu jatungnya seolah berhenti berdegup mendapati pemateri pagi menjelang siang itu adalah sosok wanita yang selama ini selalu menghiasi doa dan fikirannya. Meski jarak pandang yang sangat minim dirinya sangat mengenali suara dan wajahnya yang tidak akan mampu ia lupakan.

Alika Maulaya Syakira gadis yang terlampau istimewa di matanya benar-benar menjadi pemateri pagi itu. Matanya memerah seketika menahan airmata bahagia takdir telah menghendakinya bertemu kembali dengan bidadari yang selalu dipuja dalam diamnya. Keterkejutannya belum pulih benar matanya juga menangkap sosok gadis berkacamata dengan balutan jilbab yang sangat mempesona. Maria Cristin juga menjadi patner pemateri pagi itu. Mereka berdua benar-benar menjelma sosok yang sangat istimewa di matanya. Cristi teman diskusinya selama bertahun-tahun kini sudah menjadi muallaf ynag sangat disegani dibeberapa kampus ternama di Jakarta. Sementara Mei dirinya tak bisa menebak-nebak karena sudah hilang komunikasi beberapa tahun lamanya.

“Mbak Ulya, maaf boleh tanya sesuatu?” Biyaz sambil berbisik di telinganya karena tak ingin menganggu konsentrasi yang lain.

“Mau tanya apa, Mas?” suaranya yang lembut merespon Biyaz. Sementara temannya sesama panitia pura-pura batuk dan mendehem membulynya karena seolah ada perhatian khusus dari Biyaz.

“Pemateri di depan apakah benar Alika Maulaya Syakira?. Dan satunya lagi Maria Cristin?” Biyaz memastikan penglihatan dan pandangannya masih normal dan mampu mengenali kedua sosok pemateri pagi ini.

“Iya, Mas. Mereka berdua benar-benar sosok yang menginspirasi kami. Mereka sosok yang diseleksi oleh panitia untuk mengisi acara yang digelar pagi ini. Buktinya sampai beberapa jam berlangsung suasana Dome ini masih sangat kondusif.” Matanya berbinar penuh ketakjuban, dan wajahnya sedikit menyiratkan keheranan karena Biyaz mengenali nama keduanya.

“Oh berarti benar apa yang saya lihat. Alhamdulillah kalau begitu, nanti kalau mbak Ulya, dan teman-teman mau kenalan sama mereka berdua, biar saya kenalkan. Pasalnya mereka berdua sangat kenal baik dengan saya.” Sambil melihat Hpnya yang lagi bergetar.

“Oh ya beneran, Mas?. Kalau begitu kami mau dong.” Sergahnya seolah tak percaya dengan memegangi bahu Biyaz yang memang lebar bak seorang olahragawan.

“Insyaallah....” jawabnya singkat karena segera berlalu keluar ruangan menerima telpon dari seberang.

Sementara di ruangan penuh hiruk pikuk tepuk tangan terus bergema. Ulya menjadi sasaran bully teman-temannya karena Biyaz menyanggupinya untuk mengenalkannya dengan pemateri-pemateri pagi ini. Ulya memang dikenal mahasiswa paling anti cowok dan mahasiswa aktivis yang disegani di kampusnya. Namun entah ada nilai magis apa di matanya, seorang Biyaz menjelma lelaki yang berbeda. Meskipun awalnya dia sempat menolak untuk menjemput Biyaz ke stasiun Malang.

Sementara Baharuddin hanya geleng-geleng kepala mendapati panitia pelaksana memBully salah satu temanya. Dirinya diliputi tanda tanya besar tentang kedua pemateri yang ada di depan. Karena Biyaz dengan bernada optimis dan meyakinkan kalau dirinya mengenal kedua pemateri itu dengan sangat baik. “Kalau mengenal Cristi seorang Muallaf mahasiswa UI itu sangat mungkin, karena sama-sama kuliah di jakarta. Namun mengenal Alika Maulaya Syakira yang kuliah di Malaysia bagaimana mungkin?” bathinnya bertanya-tanya sendiri.

Dua jam lebih Biyaz mengikuti materi yang disampaikan oleh Mei dan Cristi penuh debaran tak menentu. Degup kencang dadanya terus tak teratur, menyimpan kerinduan membuncah dan tanda tanya perihal setatus Mei, jelas menjadi bahan utama fikirannya. Keberadaannya di barisan paling belakang jelas tak diketahui mereka berdua, namun dengan jelas dirinya menyaksikan betapa penuh talenta keduanya dalam memaparkan argumentasinya dalam forum itu.

Acara penyerahan cindramata dari panitia buat keduanya berlangsung sebelum adzan dluhur berkumandang. Banyak dari peserta yang meminta untuk berfoto bersama dengan mereka berdua. Tak mau ketinggalan momentum itu juga dimanfaatkan oleh panitia untuk mengabadikan foto besama keduanya. Sulthon, panggilan akrab ketua pelaksana seketika membawa kadua pemateri pagi sampai siang itu untuk menuju masjid Fachrudin sesuai permintaan keduanya akan melaksankan shalat jamaah di masjid itu.

Dari jarak berkisar lima puluh meter, Biyaz bersama Bahar terus mengikuti keduanya dari belakang. Biyaz hanya ingin memastikan bahwa Mei tidak ada yang menjemputnya, setidaknya kategori calon suaminya. Bahar masih terus dihantui rasa keingintahuannya perihal apa yang Biyaz lakukan, namun dirinya merasa tak elok untuk mengutarakan maksud dan keinginnannya bertanya.

Muadzin mengumandangkan adzan penuh nada yang mengandung magis. Suaranya indah dan intonasinyapun sama persis seperti muadzin di masjid Nabawi Madinah atau masjidil Harom Mekkah. Biyaz mensegerakan mengajak Bahar untuk segera berwudlu’. Sekaligus ditangga itu dirinya meminta salah satu panitia untuk memberikan selembar kertas kepada Alika Maulaya Syakira yang mejadi pemateri.

“Mbak, kalau ditanya dari siapa surat ini. Tolong bilang cukup dibaca saja, Insyaallah dirinya akan sangat faham setelah baca ini.” Pesannya kepada panitia yang bersedia memberikan suratnya.

“Kalau ternyata, Ibu Alika Maulaya Syakira nggak mau baca gimana, Mas?” wajahnya mengguratkan kecemasan.

“Bilang saja itu bukan bahan peledak dan bahan yang bisa mengancam keselamatan jiwanya. Atau bilangin saja dari sahabat lamanya yang tak punya kesempatan menemuinya. Karena tadi banyak dari peserta dan panitia yang begitu antusias untuk berfoto bersamanya.” dirinya terus meyakinkan bahwa surat itu akan dibaca oleh Mei.

“Oke kalau begitu. Akan langsung saya sampaikan.” Seraya meninggalkan Biyaz di tangga masjid menuju tempat shalat jamaah perempuan.

Jam 12.30 panitia yang diberikan amanah untuk memberikan surat kepada Mei baru bisa memberikan titipan Biyaz kepadanya. Selepas shalat, Mei dan Cristi masih dikerubungi oleh mahasiswa untuk bertanya seputar kegiatan merka selama ini.

“Assalamualaikum...” suaranya membuat, Mei dan Cristi terperangah sejenak.

“Waalaikum salam...” Cristi yang berinisiasi menjawab.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak. Soalnya kalau dilihat dari pakaiannya mbak ini salah satu panitia acara inikan?” mereka bertiga langsung berjabat tangan bergantian.

“Ibu Alika Maulaya Syakira, sebelumnya saya minta maaf karena saya mendapatkan amanah dari seseorang untuk memberikan lembaran ini langsung kepada ibu.” Ekspresi penuh harap menggurat di wajah duta surat dari Biyaz.

“Dari siapa, Mbak surat ini?” dahinya mengernyit penasaran dengan siempu suratnya.

“Yang bersangkatun hanya titip pesan kalau dia adalah teman lama ibu yang tadi tidak memiliki kesempatan karena banyaknya peserta yang menemui ibu. Pesannya juga agar surat ini langsung dibaca.” Tangannya ditangkupkan di depan dadanya pamit memohon diri sipengantar surat langsung keluar menuju Dome.

Lihat selengkapnya