“Biyaz, penyajian yang benar-benar berkelas. Tanpa menyinggung apalagi melukai perasaan ummat beragama apapun, dimanapun, siapapun.” Tatapan mata Mei langsung membuat Biyaz seolah kehilangan kontrol keyakinan. Mata bidadari yang mampu membuat bulan iri karena tanpanyapun pasti akan digantikan sinarnya oleh mata Mei.
“Tapi materi kamu lebih memukau. Aku salut dan aku benar-benar jauh kelasnya dibawah kamu. Ya....aku kelas ecek-eceklah dibandingkan mahasiswa produk luar negeri.”
“Alah kamu mulai mengejek ya?. Awas lho ya, aku benar-benar lebih hebat dari kamu tahu rasa nanti.” Kembali senyumnya menyerang dada Biyaz yang berdebar hebat.
“Amin”
“Kok Amin sih?” matanya tajam melihat kearah Biyaz yang kebingungan.
“Mesti aku jawab gimana selain mengaminkan?. Soalnya ini beneran lho.”
Keduanya kembali bertatapan sambil tersenyum penuh kesyahduan. Alunan irama Asmara memancar dari sudut-sudut bibir mereka berdua. Hanya saja jalan syariat yang belum mereka tempuh menjalani jalan menuju kehalalan. Irama asmara itu masih tersimpan rapi dari dalam hati keduanya. Langkah mereka beriringan Saat keduanya berada ditangga menuju masjid Fachrudin untuk melaksanakan shalat Ashar. Tatapan penuh kerinduan benar-benar memancar dari mata keduanya. Cahaya penuh sanjungan berbinar dan debar dadanya berangsur menghilang.
Baharuddin yang menunggunya di tempat penyimpanan sepatu hanya tersenyum tak mengeti melihat keasyikan mereka berdua berbincang-bincang. Maklum saja dia tak pernah tahu sejarah Biyaz dan Mei sebelumnya, beberapa Panitia pelaksana juga menunggu Biyaz di dalam masjid untuk shalat berjamaah. Bahar memberitahukan Biyaz kalau di dalam masjid banyak panitia menunggunya untuk shalat berjamaah ashar. Biyaz hanya menganggukkan kepala sebagai isyarat dirinya akan segera ke dalam.
“Assalamualaikum, Biyaz...” suara yang tak begitu asing buatnya terdengar dari atas tangga saat dirinya duduk di tangga paling bawah melepas tali sepatu.
“Waalaikum salam...”
“Biyaz, apa kabar? Aku kangen kamu tahu, lama nggak ada komunikasi. Apalagi semenjak kamu sibuk mempersiapkan Skripsi. Lebih-lebih kamu nggak memberitahukan kalau kamu akan menjadi pemateri disini.” Cristi menghambur menuruni tangga dan langsung memeluknya.
“Cristi....”
Mei melihat apa yang terjadi di antara keduanya, matanya langsung meneteskan airmata. Hatinya terbakar cemburu, dadanya seolah mau meledak menahan gejolak itu, apalagi menyaksikan Biyaz seolah menikmati pelukan Cristi tak ada upaya sedikitpun untuk mencegahnya. “Apakah kamu tidak merasa ada aku disampingmu, Biyaz?. Apakah kamu memang sudah mengenalnya jauh melebihi kamu mengenalku?. Jadi ini, Biyaz lelaki yang kamu puja setengah mati itu, Cristi?. Jadi benar-benar Biyaz yang sama?. Biyaz, kenapa kamu hanya diam, padahal kamu tahu syariat melarang apa yang kamu lakukan ini?. Sudah hilangkah nyawa dan warna Quran yang ada dalam dadamu?” Mei menundukkan pandangannya seraya mengutuki apa yang Biyaz lakukan diluar apa yang bisa dia bayangkan. Tangannya menghapus air mata yang terus mengalir di kelopak matanya.