Ibu Nurmala mempersiapkan Teh hangat buat empat pemuda di ruang tamunya. Mei langsung menuju dapur menemui Ibu angkatnya untuk membantu mempersiapkan teh hangat dan makanan kecil ala kadarnya. Sesampainya Mei di dapur Nurmala kembali mengingatkan bahwa anak perempuannya yang dinikahi orang Surabaya akan datang sebelum maghrib kalau sesuai jadwal. Jadi dirinya sangat berharap Mei akan membantu untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
“Kalau kamar yang biasa ditempati, Mbak Lusi sama suaminya itu sudah ibu siapkan Mei. Tinggal lauknya ini belum ibu persiapkan untuk makan malam mereka nanti. Makanya, Ibu berharapnya kamu bisa menahan teman-teman kamu untuk tidak pulang dulu. Kita makan malam bersama nanti di sini.”
“Saya khawatir mereka punya kesibukan yang lain, Ibu”
“Pokoknya diusahakan, Mei. Insyaallah sebelum Maghrib mereka sudah datang. Sekalian nanti bisa shalat berjamaah maghrib disini.”
Sejak datang dari acara di UMM beberapa menit lalu, ibu Nurmala melihat ada gurat aneh di mata Mei. Ada sinar bahagia namun terkadang berubah seketika menjadi muram durja. Tanda tanya itu mendorongnya untuk mengintrogasinya
“Nak, ceritakan pada ibu apa yang sedang terjadi. Kenapa kamu tidak seperti kemarin-kemarin, seolah ada hal yang lebih berat dari apa yang pernah kamu hadapi?”
“Sebanarnya, Mei mau cerita sedetail-detailnya namun sayang waktunya nggak pas”
“Maksudnya?”
“Ibu, ingat siapa nama lelaki yang berambut gondrong itu tadi saat salim sama ibu menyebutkan namanya?”
“Ingat.... Namanya Biyaz kalau nggak salah dengar.”
Ibu Nurmala sambil memandangi Mei yang mengambil nafas dalam-dalam manakala dirinya menyebutkan nama lelaki itu. Apalagi Mei seketika menghambur memeluknya sambil berderai air mata. Keterkejutannya semakin menjadi-jadi mendapati tingkah anak angkatnya yang sangat tak lazim dan diluar dugaan.
“Orang itulah yang ingin Mei kenalkan sama, Ibu. Dialah lelaki yang Mei ceritakan tempo hari di beranda rumah.” Sambil mengusap air matanya Mei melepaskan pelukannya.
“Alhamdulillah....akhirnya dipertemukan juga kamu dengan pemuda itu.”
“Mei, belum tahu dia sudah punya wanita yang siap dijadikan penghuni syurganya kelak atau masih belum. Apalagi tadi sebelum kesini Mei melihat dengan mata kepala sendiri, Biyaz dipeluk Cristi teman yang baru Mei kenal itu. Mereka seolah ada keterikatan bathin luar biasa.” Sambil memegang tangan Ibu Nurmala tangannya gemetar dan mengeluarkan keringat dingin.
“Kok bisa ya orang yang sudah hafal Qur’an 30 Juz mau dipeluk wanita yang belum halal buatnya?. Tapi kalau melihat caranya melihat wanita itu sepertinya pandangan seorang sahabat saja tak lebih kok. Tenangkan saja fikiranmu, Insyaallah dialah yang terbaik buatmu.” Seketika meninggalkan Mei sendirian karena Nurmala bergegas mengambil Hpnya yang berdering. Mei langsung membawa lima gelas teh hangat menuju ruang tamu, sebelumnya terlebih dulu mencuci muka.
Tak terasa adzan maghrib berkumandang di masjid yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah ibu Nurmala. Berbarengan dengan berakhirnya adzan, bel rumah itu berbunyi. Mei posisi duduknya paling dekat dengan pintu berinesiatif membuka pintu setelah sebelumnya menjawab salam. Ibu Nurmala yang berdiri di belakngnya langsung menyambut hangat menantu dan anaknya seraya mengenalkannya kepada Mei dan ketiga tamu lainnya.
Suasana penuh kekeluargaan di ruang tamu itu berlangsung sekitar sepuluh menit dengan dialog santai dengan pertanyaan seputar aktifitas masing-masing. Teh hangat yang sengaja disiapkan oleh ibu Nurmala buat anak dan menantunya langsung dihidangkan juga.
“Oh ya, sebelum makan malam bersama ada baiknya shalat Maghrib aja dulu.” Ibu Nur langsung menunjukkan kamar mandi untuk mengambil wudlu’ kepada Cristi dan Bahar yang langsung berinesatif mengambil wudluk.
“Kenapa nggak shalat ke masjid aja, Ibu, bukannya masih lama Isya’ akan menjelang?” kata menantunya bereaksi penuh takdzim.
“Nggak Mas, kita jamaah disini saja. Insyaallah tempat ini muat untuk kita bertujuh.” Ibu Nur langsung menggelar karpet warna hijau di samping kursi tempat mereka duduk semula.
“Iya muat sih, Bu” sambut Lusi sambil mengangkat bahunya tak mengerti, untuk menjawab ketakmengertian suaminya.
“Kamu masti bingungkan, kenapa kita mau shalat disini. Sejak beberapa hari ini ibu shalat bersama Mei, seorang mahasiswa dari luar negeri. Nah sekarang ibu sangat berharap kita shalat jamaah disini agar bisa diimami mahasiswa Jakarta yang hafal 30 Juz al-Qur’an.” Sambil menggelar sajadah terakhir di karpet hijau itu.
Seperti suara petir menyambar telinganya. Biyaz langsung mengangkat wajahnya yang semula hanya menunduk menunggu giliran untuk mengambil Wudluk. Matanya langsung menghujam menatap Mei yang hanya tersenyum penuh kemenangan. Biyaz yakin yang membocorkan tentang hafalan Qurannya pastilah Mei.
Ibu Nurmala hanya senyum-senyum melihat keterkejutan Biyaz dan langsung menatap Mei tak mengerti dan mencari pembelaan darinya. Sementara Mei hanya bisa membalas tatapan Biyaz dengan senyum tak bisa berbuat apa-apa. Menantu dan anaknya juga hanya terheran-heran melihat bagaimana Biyaz seolah berbisik pada Mei, sementara Mei hanya mengangkat bahunya tak mengerti.