Pagi yang masih sangat merekah dengan embun tersenyum renyah diantara lembaran daun-daun. Mereka bertiga sudah ada di area tempat menunggu penumpang turun. Wajah surya belum benar-benar gagah cerah di ufuk timur. Hanya sesekali terlihat manja menelusup d iantara daunan yang rindang. Hawa sejuk beriring hembusan sang bayu membelai lembut Mei yang hanya duduk di bangku tunggu penumpang. Jaket tebal warna hitam yang dipakainya benar-benar membantunya mengurangi dingin.
Biyaz menghilang dari balik tembok peron setelah meminta ijin kepada petugas untuk melihat-lihat ke dalam terminal. Perasaan cemas karena HP yang dihubunginya tak aktif sejak satu jam lalu. Karena sesuai jadwal seharusnya Najma dan Ummynya sudah ada di terminal jam 05.30.
“Kenalkan Mei, ini kakak perempuanku. Yang ini, Ummy. Wanita yang benar-benar pendoa luar biasa buatku. Berkat doanya aku bisa jadi seperti ini.” Biyaz memperkenalkan dua wanita paling berharga dalam hidupnya seketika muncul kedua wanita itu dari dalam terminal.
“Saya, Alika Maulaya Syakira ummy.” Mei menyebutkan namanya seketika langsung dipeluk oleh wanita yang sangat luar biasa itu. Bagaimana tidak, seorang perempuan yang telah dengan telaten membuat anak lelakinya menjadi pendakwah luar biasa.
“Panggil saja ummy dengan sebutan, Ummu Kulsum.” Perempuan paruh baya itu seketika mencium kening Mei penuh haru.
“Kalau saya pangil saja, Najma.” Suara Najma lembut sambil memeluk Mei penuh aroma persaudaraan.
“Kalau yang ini namanya, Baharuudin Ummy, kak Najma. Dia orang paling keren yang Biyaz temui dari Sulawesi selama ini. He-he-he” seketika tawa Baharpun terkekeh-kekeh sambil menyalami dan menciumi tangan Ummu Kulsum.
Mereka berlima langsung keluar dari area terminal di Arjosari Malang. Di parkiran mobil yang dipinjam Bahar dari teman satu kampusnya langsung keluar dengan kecepatan sedang menuju kosnya. Mei dan kedua perempuan istimewa itu duduk di bangku tengah, sementara Biyaz bersama Bahar di bangku depan.
Najma bersama Mei banyak berbincang soal kesibukan masing-masing. Betapa kaget Najma mendengar saat Mei bilang kalau dirinya masih mahasiswa aktif karena belum diwisuda di Malaysia. Sejak semula Najma berfikirnya Mei adalah salah satu mahasiswa yang kuliah di dalam negeri.
”Benar-benar wanita yang pas kalau memang benar bahwa inilah wanita yang istimewa yang ingin Biyaz kenalkan kepadaku dan ummy. Karena kalau dilihat dari akhlaknya wanita ini bisa menjadi patner yang pas buat Biyaz kelak.” Najma Membathin sendirian. “ Apalagi ummy kalau dilihat-lihat sangat akrab dan menyukainya. Semoga saja memang inilah wanita itu. Karena waktu nelpon aku disuruh datang ke malang besama ummy memang mau dikenalkan dengan wanita yang selama ini Biyaz kagumi. Semoga saja ya Allah Mei inilah calon adik iparku.” Najma terus berharap sambil melihat Mei yang dengan sopan berbincang dengan Ummy-nya.
“Nak, kenapa nggak nyalakan Murattalnya, Syekh Musya’ari Rasyid atau Syekh Muhammad Thaha Al-Junaydi saja daripada lagu yang membuat ibu bingung nggak faham artinya.” Suaranya yang khas langsung mengagetkan Bahar dan Biyaz di depan karena lagu yang dinyalakan ternyata lagu yang berbahasa Inggris.
“Oh maaf, Ummy, ini saya juga nggak tahu kalau yang ada di file Flesdisnya lagu barat.” Bahar agak gugup menjawab permintaan ummy Ummul Kulsum.
“Ini kalau ada kabel USB-nya HP saya ada kok File murattalnya. Tinggal pilih maunya, Syekh siapa.” Mei mengeluarkan Hp dari tas kecil yang dibawanya.
“Oh enak kalau begitu, kayaknya ini ada, Mas. Copot aja dulu Flesdisnya.” Biyaz langsung menoleh dan meraih HP yang Mei sodorkan padanya. Biyaz dan Mei hanya sekilas saling menatap dengan diselingi senyum hangat. Najma hanya melihat tingkah adiknya yang tak seperti memperlakukan para sahabat-sahabat wanita lainnya. Najma melihat seolah ada getar dan cahaya lain dari tatapan mata Biyaz terhadap Mei.
Perjalanan menuju kos Baharuddin mereka berlima banyak didominasi Mei, Najma, Ummu Kulsum dalam berdialog. Biyaz dan Bahar lebih banyak menjadi pendengar sejati. Apalagi saat surat al-Nisa’ diputar oleh Biyaz, tak terasa suara ketiganya di belakang langsung mengikuti bacaan Syekh Musya’ari Rasyid. Mereka bertiga benar-benar menghafal ayat demi ayat dari surat itu. Najma dan Ummu Kulsum hanya memandangi Mei yang memejamkan matanya mengikuti lantunan ayat suci al-Quran yang dibacanya.
Saat surat al-Nisa’ ayat 135 mobil yang mereka tumpangi sudah ada di halaman kos Bahar. Seketika mereka betiga berhenti membaca al-Quran, karena Biyaz mematikan Audio yang ada di dekatnya. Najma yang ada di pintu samping langsung membuka pintu mobil dan mempersilahkan Mei yang duduk di antara dirinya dan Ummu Kulsum untuk turun.
“Ini rumah, Nak Bahar sendiri?”
“Bukan Ummy, saya hanya kos disini. Tapi sekarang kebetulan sudah dua minggu lalu yang punya rumah ini keluar kota. Katanya ada urusan mendadak gitu.”
“Makanya Ummy, rumah ini yang nempati hanya, Mas Bahar sendirian dan semua urusan rumah ini dipercayakan kepadanya. Apalagi anak pak kosnya kesemsem berat sama dia. Pasti sebentar lagi akan diambil menantu sama ibu bapak kosnya. He-he-he..” Biyaz kembali mengerjai Bahar, tampak memerah mukanya karena menyimpan rasa malu. Dirinya merasa menyesal sempat Curhat tentang anak perempuan ibu bapak kosnya yang masih menempuh kuliah di Jogjakarta. Setiap kali bertemu benar-benar memberi perhatian tak lazim.
“Wah beneran nih, Mas Bahar?. Kok saya ketinggalam berita ya, padahal saya sudah kenal, Mas dua hari lalu.” Mei juga ikut meramaikan suasana.