Pertemuan ibu Nurmala bersama keluarga besar biyaz benar-benar seolah menemukan cahaya persahabatan yang sebenarnya. Ummu Kulsum langsung akrab dengan ibu Nurmala layaknya mereka telah puluhan tahun kenal sebelumnya. Najma dengan Cristi juga demikian keadaannya langsung akrab layaknya sahabat lama. Mendengarkan cerita Cristi yang seorang muallaf dengan bantuan Biyaz selama bertahun-tahun mencari kebenaran, hingga akhirnya memutuskan masuk Islam membuat Najma terharu.
Saat peralatan makan dikemasi dan dikembalikan ke dapur, Biyaz selalu disikut oleh Bahar untuk segera mengutarakan lamaran kepada Mei. Najma juga selalu mengangkat alisnya pertanda kepada Biyaz untuk secepatnya mengutarakan pinangan kepada Mei. Sementara Biyaz hanya tersenyum tanpa ekspresi jelas. Tubuhnya keluar keringat dingin, tangannya gemetar dan dadanya kembang kempis pertanda adrenalinnya terus naik.
Di sofa memanjang di ruang tamu, Biyaz duduk bersampingan dengan Bahar dan Najma. Ibu Nurmala bersama Ummynya duduk di sofa sebelah barat menghadap ke timur. Sementara Cristi, Mei ada di depannya menghadap kearah utara. Mata Biyaz terus memandangi ummynya yang asyik berbincang kecil bersama ibu Nurmala.
“Uhuk-uhuk-uhuk... sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas undangan Ibu Nur kepada kami sekeluarga. Namun dengan adanya undangan ini juga saya ingin menyampaikan sesuatu kepada seseorang. Hal ini sangat penting sifatnya.” Sambil terbatuk karena nervous Biyaz memulai pembicaraan.
Najma dari wajahnya tersirat ketegangan, Bahar hanya menundukkan kepala. Sementara Mei dan Cristi juga terlihat penasaran dari isyarat wajah mereka. Karena Biyaz tak pernah melakukan hal semacam itu sebelum-sebelumnya.
“Oh ya, Nak Biyaz, kami siap mendengarkan apa yang mau kamu sampaikan.” Ibu Nurmala menengahi kebungkaman seisi ruangan itu.
“Bismillah...semoga apa yang saya inginkan bersama restu, Ummy dan kakak saya mendapatkan kepastian. Sejujurnya, malam ini adalah malam paling menakutkan dalam kehidupan saya. Bagaimana tidak, karena saya harus memutuskan perkara besar ini. Setelah saya tahu dan benar-benar yakin maka saya memutuskan untuk meminang seseorang. Orang itu, Alika Maulaya Syakira di depan kalian semua. Seperti apa yang telah saya katakan beberapa tahun silam di Jogjakarta padamu, Mei. Kalau kamu masih sendiri belum ada lelaki shalih menjadi suamimu maka saya akan meminangmu sesuai anjuran syariat. Sudikah kiranya kamu wahai rival abadi, menjadi bidadari yang akan bercocok tanam kebun syurga bersamaku?”
Sesudah mengutarakan maksudnya, Biyaz seolah terlepas dari gunung beban yang ada di tubuhnya. Yang terlihat jelas hanya sesekali dirinya mengambil nafas dalam-dalam. Tubuh Mei langsung terguncang hebat seperti tertabrak benda keras dan besar, dadanya kembang kempis, tangannya mengeluarkan keringat dingin, Matanya langsung memerah, mutiara suci mengintip indah dari kelopak matanya. Antara percaya dan tidak Mei mendengar apa yang Biyaz utarakan.
“Ya Allah bukankah ini yang hamba harapkan selama ini. Kenapa hamba malah takut untuk menjawab sekedar mengiyakan?. Kenapa hamba seolah merasa menjadi manusia paling bodoh dan tak berdaya?. Apalagi hamba jelas-jelas bersama dengan orang yang menyimpan perasaan yang sama terhadap, Biyaz?. Apakah, Biyaz tidak merasa kalau, Cristi yang telah dia Islamkan berharap banyak kepadanya agar bisa menjadi pembimbingnya.” Mei menundukkan kepalanya terus membathin dengan airmata yang mengucur deras.
Cristi mendengar apa yang diucapkan Biyaz tubuhnya tak bisa digerakkan karena seolah-olah tulang ditubuhnya dilucuti satu demi satu. Wajahnya memanas, telinganya seolah tak ingin mendengar kata-kata itu lagi. Kata-kata yang kelak kemudian ingin dia dengar untuknya. Tangannya juga gemetar. Senyumannya terlihat hambar saat Najma melihatnya. Ingin rasanya dirinya meninggalkan ruangan itu secepatnya. Untuk menumpahkan tangis sejadi-jadinya. Namun akal sehatnya seketika masih berfungsi merasa tak etis meninggalkan suasana semacam itu.