“Oke, kalau memang seperti itu, nggak apa-apa. Saya telah menunaikan semua janji saya lima tahun silam untuk meminang kamu kalau kamu belum ada yang memiliki. Mungkin saja saya memang yang terlampau ceroboh tanpa benar-benar memastikan kalau kamu tidak dipinang orang lain. Karena saya fikir dua malam lalu adalah jawaban kalau kamu memang tidak bersuami. Tapi bodohnya saya kenapa nggak tanya secara pasti kalau kamu sudah ada yang meminang atau tidak.” Seolah mengutuk diri sendiri Biyaz dengan kenyataan, dan kecerobohannya.
“Biyaz, kamu jangan salah sangka dulu. Saya memang tidak punya suami dan belum punya tunangan. Tapi ini terlalu berat, sehingga saya tak bisa menerima lamaran kamu.” sambil terus mengeluarkan airmata Mei mencoba menjelaskan.
“Kalau kamu belum bersuami dan belum punya tunangan lantas masalahnya apa?. Oh iya perasaan memang tak bisa dipaksakan. Maaf saya lupa dan terlalu naif tak berfikir soal hati dan perasanmu kepada saya seperti apa selama ini.”
“Biyaz, bukan itu masalahnya...” terus terisak dan berharap Biyaz mengerti kondisinya.
“Lantas masalahnya apa?, terus terang ini abu-abu tak jelas duduk perkaranya.” kebingungan Biyaz terus mencari pembenaran dengan melihat semua yang hadir.
“Aku menolak pinangan ini karena kamu. Iya karena kamu...” jawabnya terus terisak menatap Biyaz tajam.
“Hah.... karena saya?. Makin nggak jelas kamu. Saya ini belum punya istri. Belum sekalipun saya melamar anak orang seumur hidup saya.” Bernada agak meninggi karena dirinya semakin bingung dijadikan objek tuduhan tanpa alasan.
Semua yang hadirpun merasa kaget dengan kata-kata Mei. Apalagi keluarga Biyaz yang tak pernah mendengar Biyaz bercerita perempuan selama kuliah. Cristi hanya terus menggelengkan kepala sambil menatap lantai dan mengusap air matanya dengan tisu. Dirinya tak menyangka Mei akan senekad itu menolak lamaran Biyaz. Padahal Cristi benar-benar tahu bagaimana perasaan Mei terhadap Biyaz selama ini.
“Maaf Biyaz, pinangan ini saya tolak karena ada wanita lain yang sangat berhak mendapatkan perhatian kamu, bimbinganmu, mendapatkan perlindunganmu, mendapatkan cinta dan doa-doamu. Karena kamu telah berhasil membawanya menuju jalan kebenaran. Mbak Cristi, akan bisa menjadi ibu buat anak-anakmu kelak. Dia sangat mencintaimu dan benar-benar wanita hebat karena memendam rasa itu selama ini. Aku yakin kalian bisa hidup harmonis, dan anak-anak kalian kelak akan mewarisi kelebihan kalian berdua. Jadi tolong mengertilah kondisi saya.”
Bagai disambar petir ditengah-tengah hari bolong, Biyaz mendengar apa yang Mei katakan. Antara percaya dan tidak, dirinya mencoba melihat Cristi, namun Cristi langsung menundukkan kepalanya manakala tatapan mereka beradu. Cristi semakin tidak mengerti dengan sikap Mei yang merelakan dirinya tersiksa, namun rasa kagum terus mengembang dari hatinya dengan sikap Mei. Meskipun bingung dirinya tak mampu harus berbuat apa dalam kondisi semacam ini.
“Mei, apa yang kamu katakan?. Apa yang kamu lakukan?. Kamu tak perlu melakukan tindakan bodoh ini. Bukankah hal ini yang selama ini kamu harapkan?” Cristi memegang dan mengguncang bahu Mei yang masih terus terisak.
“Mbak, saya ikhlas kok melakukan ini semua. Jadi, Mbak Cristi jangan merasa bersalah dan berdosa dengan ini semua. Saya tahu harus berbuat apa.” Ratapnya penuh harap dengan pandangan terus berkaca-kaca.
“Ini jelas nggak fair, Mei. Saya makin nggak mengerti?” Biyaz menatap keduanya.
“Apanya yang belum jelas, bukannya sudah saya jawab semuanya?. Jadi tolong hargailah keputusan saya, lihatlah bagaimana, Mbak Cristi yang tetap menjaga kesucian perasannya selama ini buat kamu. Dia pantas mendapatkan yang terbaik.” Tatapannya semakin menghiba ke arah Biyaz.
“Tolong, Cristi katakan bahwa yang dikatakan, Mei adalah lelucon. Itu semua nggak benar, itu hanya rekayasa belaka.” Matanya beradu pandang dengan Cristi, Biyaz bernada penuh harap.
“Cilakanya apa yang, Mei, katakan itu adalah realitanya, Biyaz. Sejak di atas kereta lima tahun silam aku bersimpatik sama kamu. Lama kelamaan rasa itu semakin membesar saja. Tapi tolong jangan disalah tafsiri tentang bagaimana aku memeluk agama Islam. Aku memilih Islam karena aku memang benar-benar menemukan apa yang aku cari selama ini. Jadi soal agama dan rasa dihatiku buatmu, dua perkara yang berbeda. Perlu juga kamu tahu Biyaz, apa yang kamu lakukan dengan meminang, Mei, adalah hal terbaik yang harus kamu lakukan. Aku akan senang dan sangat bahagia kalau kamu bisa bersama, Mei, membangun rumah tangga. Karena kalian berdua saling mencintai, dan telah mampu menjaga kesucian cinta kalian dalam waktu yang tak sebentar. Aku yakin, Mei akan menjadi istri terbaik buat kamu. Dialah yang akan menjadi ibu terbaik diseluruh dunia ini buat anak-anakmu kelak.” Tangisnya juga semakin pecah manakala selesai mengutarakan apa yang ingin diutarakan sejak beberapa tahun lalu.
Semua yang hadir di rumah ibu Nurmala hanya bisa mendesah dan geleng-geleng kepala. Dua gadis dengan talenta berbeda memiliki perasaan yang sama terhadap seorang pemuda. Dari matanya mulai keluar butiran bening membuat haru Najma karena keduanya sama-sama bisa melakukan apa yang memang semestinya dilakukan oleh wanita dewasa.
Ummu Kulsum, Nurmala, Bahar hanya saling beradu pandang. Kondisi yang rumit semacam itu tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Biyaz terus menundukkan kepala seolah berfikir keras, namun seketika tubuhnya lunglai disandarkan ke sofa, apa yang difikirkan tak menemukan jalan keluar. Wajahnya sesekali diusap menggunakan tangan kanannya, rambutnya yang panjang hanya disisirnya menggunakan tangan kiri. Hening meningkahi mereka, tak ada yang angkat suara sekedar menenangkan atau mencari tahu lebih banyak tentang kondisi mereka.
“Kenapa jadi amburadul semacam ini?” Biyaz angkat bicara memecah kesunyian. Entah pertanyaan itu dialamatkan kepada siapa.