Santri Tak Kasat Mata

Hanif Hilmi Ali
Chapter #2

bagian 2

Lima belas tahun yang lalu, pondok di salah satu desa di Yogyakarta ini belum begitu besar. Hanya terdapat tiga komplek, di antaranya satu komplek buat santri tingkat mts putra, satunya buat santri tingkat aliyah putra, dan sisanya khusus putri baik mts maupun aliyah. Mungkin santrinya baru mencapai 300 sampai 400 anak, itu pun putra putri. Jadi belum begitu ramai untuk pondok yang jauh dari perkotaan. Beberapa bangunan pun masih terbuat dari bambu dengan tali hitam. Kayu-kayu jati yang berdiri tegak terlihat sangat kokoh. Pohon mangga dan pohon talok tumbuh subur di halaman pondok, sehingga suasana terlihat lebih asri. Beberapa bunga hias juga ditanam oleh para santri agar pemandangan lebih sempurna.

Angin waktu itu membawa Rama sebagai santri baru. Ia resmi tercatat sebagai santri yang berasal dari Semarang Jawa Tengah. Anak yang baru saja lulus dari SMP, masih berwajah polos. Rambutnya tertata rapi sedikit bergelombang. Kulitnya langsat, dengan tubuh yang ideal tidak begitu tinggi dan tidak juga gemuk. Wajahnya asri layaknya bunga yang baru saja mekar. Dihiasi alis yang tebal dan matanya begitu menawan. Ketika tersenyum, semua orang akan tertarik dengan mulut dan giginya yang rapi. Tampan dan Manis.

Ia lebih cenderung sebagai santri baru yang pendiam, meski tidak jarang juga mengeluarkan celetukan-celetukan yang menggelikan perut temannya. Sebagai anak yang suka punya teman banyak, Rama tidak pernah memilih-milih teman. Siapa saja yang hidup di pondok berarti teman barunya. Bahkan ketika acara perkenalan semua santri baru, Rama ditunjuk oleh pengurus agar maju pertama kali untuk memperkenalkan dirinya. Entah dengan dasar apa pengurus memilih Rama, tapi mungkin ada semacam magnet yang membuat pengurus menunjuknya.

"Ah pelajaran apa ini, tulisan kok semuanya arab. Mana bisa dibaca..." Bima mengeluh. Rama yang sebagai teman satu bangkunya hanya tersenyum tipis, meski dia juga belum bisa membaca tulisan arab tanpa harakat itu.

Hari berganti menjadi minggu, hingga satu bulan sudah Rama menikmati pahit manisnya di pondok pesantren. Siang itu, kebetulan musim hujan di Jogja mulai tiba. Langit tepat di atas pondok diselimuti awan lengkap dengan warna abu-abunya. Angin berhembus pelan seperti ingin memberi kabar kalau sebentar lagi akan menurunkan air. Rintik-rintiknya mulai membasahi tanah yang sudah lama haus. Satu, dua, tiga, sampai ratusan bahkan jutaan air menyerbu bumi seisinya. Para santri berlari-lari kecil menuju kelasnya masing-masing sambil melindungi kitab dan pecinya. Tidak beda dengan Rama. Ia lari lebih cepat layaknya orang yang alergi dengan air hujan.

Sesampainya di kelas, semua santri sibuk mengusap-usap pakaian yang terkena air hujan. Ada juga yang sudah mulai ngobrol dengan teman sebangkunya. Berbeda dengan Rama, ia justru hanya diam menatap jendela paling pojok. Tatapan matanya melebar. Dahinya mengerut. Sesekali ia mengusap matanya dengan kedua tangannya, lalu menatap jendela lagi. Begitu sampai tiga sampai empat kali. Bibirnya mulai pucat. Tubuhnya lemas.

"Ram..." tegur Bima sembari menyenggol pundak Rama.

BRUKK...

"Wehhh, Ram!" Bima panik melihat Rama jatuh dari kursinya. Semua mata tertuju pada Rama. Secara spontan beberapa santri mendekati Rama sambil menggoyangkan tubuhnya yang sudah tidak ada dayanya.

"Eh, bawa ke poskestren." ujar salah satu santri.

"Ayo ayo diangkat..." ucap santri yang lain.

"Ada yang lapor ke pengurus." Bima memerintahkan kepada yang lain sambil mengangkat Rama.

Suasana menjadi riuh. Beberapa santri mengikuti Rama ke poskentren, Sementara sisanya tetap berada di kelas saling bertukar dugaan-dugaan tentang pingsannya Rama. Ada yang menduga karena kecapekan. Ada juga karena terkena air hujan dengan kondisi tubuh yang sedang tidak baik-baik saja. Santri lain bilang karena Rama melamun akhirnya disrempet makhluk ghaib. Walaupun anggapan santri satu ini paling banyak dibantah oleh teman-temannya, tapi ada juga yang menyetujuinya. Semua hanya menduga kenapa Rama tiba-tiba pingsan.

"Sudah, sudah. Duduk di tempatnya masing-masing. Rama tidak kenapa-kenapa, dia hanya kecapekan saja." ujar guru yang baru saja datang menenangkan, "Silahkan buka kitabnya..."

***

Pada saat santri baru awal masuk pondok, semua wali santri memang diwajibkan untuk sowan atau berkunjung kepada pak kiai. Sudah menjadi adat atau justru peraturan semua pondok di seluruh dunia, mungkin. Atau justru memang tata krama orang tua ketika menitipkan anaknya di pondok, sudah sewajarnya memasrahkannya kepada yang mengasuh di pondok. Begitu juga dengan ayah dan ibu Rama. Setelah Rama diarahkan oleh pengurus untuk ke kamarnya, ayah Rama memang sengaja untuk berbicara cukup serius dengan pak kiai dan lurah pondok di sana.

"Mohon maaf, kiai. Ada yang mau saya sampaikan terkait anak saya." Ayah Rama memulai dengan penuh ta'dzim. Pak kiai mengangguk dengan senyuman tipis. Wajahnya memancarkan cahaya dan menentramkan orang yang ada di hadapannya.

"Anak saya itu kebetulan ditakdirkan sama Allah mampu melihat hal-hal yang tidak terlihat, kiai. Sudah dari kecil dia sering tiba-tiba menangis katanya melihat sesuatu. Kejadian itu tidak hanya satu atau dua kali, kiai, bahkan bisa dibilang setiap hari pasti berkata seperti itu. Apalagi kalau diajak ke tempat-tempat baru, pasti akan bilang seperti itu juga." ayah Rama mulai bercerita. Suaranya berat layaknya orang dewasa pada umumnya. Sesekali menatap pak kiai, kadang menatap lurah pondok yang juga ikut mendengarkan. "Sampai anak saya mulai sekolah di jenjang SMP, dia juga sering bercerita kalau melihat sesuatu. Awalnya saya kurang begitu percaya, tapi saya mulai percaya bahwa anak saya indigo ketika pertama kali dia pingsan. Tidak semua yang dilihat membuat dia pingsan, kiai. Dia akan pingsan kalau yang dilihat itu sangat menakutkan atau sangat kuat energinya." lanjutnya. Ia menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman. Sesekali membenarkan kacamata yang dipakai.

Pak kiai dan lurah pondok mengangguk. Mendengarkan dengan saksama. Wajahnya cukup membuktikan keseriusannya.

"Oleh karena itu, kiai, sebenarnya saya cukup khawatir anak saya meminta untuk melanjutkan di pondok pesantren karena jauh dari orang tua, takutnya terjadi apa-apa."

Lihat selengkapnya