"Wah, kopinya habis." ujar Rama sambil melirik Ilyas sebagai kode.
"Buat lagi sana, ini ceritanya masih panjang." Ilyas peka. Meraih gelas dan menyeruput sisa-sisa kopi. Memberikan pada teman yang ada di sampingnya. Tidak tau kenapa, temannya pun menurut. Mungkin karena adik kelasnya, apalagi masih penasaran dengan cerita-cerita Rama.
"Eh, kang," kata teman yang lain sambil menunggu kopinya datang, "Kang Rama tidak takut pas liat orang sedang mengaji itu?"
"Ya takut, apalagi aku kan masih santri baru waktu itu."
"Tidak pingsan atau ngompol gitu, kang?"
"Memangnya kamu." seisi kamar itu tertawa. Masih terheran-heran dengan Rama yang ternyata mampu melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata.
"Nah, ini yang ditunggu-tunggu." ujar Ilyas ketika kopinya sudah datang. Matanya terpancar pada hitamnya kopi yang melekat. Tangannya spontan meloloskan rokok yang ada di hadapannya. Asapnya masih mengepul. Terbang bersama angin. Aroma bau sedap kopi khas lampung. Hanya satu gelas tapi disentuh oleh banyak bibir. Menikmati kebersamaan seraya mendengarkan cerita yang tidak kalah menarik dengan cerita-cerita Abu Nawas.
Lima orang yang duduk melingkar sudah memasang telinganya dan siap mendengarkan seluruh kalimat dari mulut Rama. Sementara Rama masih menjunjung gelas kopinya. Mencoba menyeruput meski tau lidahnya akan terbakar terkena air panas. Tapi bagaimana mungkin kopi dinikmati setelah dingin? Apa guna kopi harus diseduh dengan air panas kalau hanya dibiarkan sampai dingin tanpa menyeruput ketika panas? Rama menyiapkan tenaganya. Mulai menggali semua ingatan yang sudah terkubur dalam di sudut pikirannya. Ia mencoba meneliti satu per satu agar tidak ada yang tertinggal untuk diceritakan. Setelah menemukan memori pikirannya, Rama segera mewujudkannya bersama kalimat yang ia susun. Teman-temannya mulai tenggelam di setiap hurufnya.
***
"Kok kamu hari ini kayak beda, Ram?" tanya Bima selepas bel istirahat berbunyi.
"Aku ngantuk, Bim."
"Tapi wajah kamu pucat lho," Bima menatapnya lekat-lekat, "Kamu sakit? tak ambilin obat di poskestren ya?"
"Tidak usah, Bim. Cuma ngantuk kok."
Bel berbunyi adalah tanda untuk para santri mengistirahatkan pikirannya setelah seperempat hari disuruh bekerja. Mereka meninggalkan kelasnya; ke kantin, kembali ke kamar, ke kamar mandi, ada juga yang hanya pindah ke lantai untuk melanjutkan tidurnya. Sementara Bima masih bingung dengan dirinya sendiri. Perutnya sudah keroncongan tapi tidak tega meninggalkan Rama sendirian.
Sejurus kemudian, Bima memutuskan untuk pergi ke kantin. Ia benar-benar tidak betah dengan perutnya yang dari tadi merengek dan menangis minta untuk diisi. Bima meninggalkan Rama yang baru saja terlelap dari tidurnya. Dengan berhati-hati, Bima bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan Rama. Matanya sesekali menatap Rama sembari melangkah dengan sangat berhati-hati layaknya ibu yang meninggalkan anaknya yang baru saja tertidur.
Sepuluh menit berlalu. Para santri kembali ke kelasnya masing-masing setelah mendengarkan bel. Mereka masuk satu per satu dengan wajah yang sumringah sambil membawa keringat yang membasahi bajunya. Suara brisik itu menggema di dalam kelas yang hanya terdapat empat jendela serta ventilasinya. Para santri masih melanjutkan candaan bersama teman-temannya sambil menunggu guru yang masuk. Sementara Bima lari dengan tergopoh-gopoh. Napasnya tersendat-sendat. Keringatnya yang sebesar kelereng itu membasahi pipi sampai tubuhnya. Mulutnya masih penuh dengan makanan dari kantin. Di tangannya pun masih ada sisa makanan yang antri untuk dimasukkan ke dalam mulutnya.
"Lho, Rama tidak sama kamu?" tanya Ilyas yang tempat duduknya di belakangnya.
Bima menoleh ke kursi sampingnya dengan mata melotot seakan baru menyadari ternyata kursi yang ditempati Rama kosong. Bima menoleh ke sekitar. Dirinya mulai panik. Makanan yang baru saja terparkir di perut pun segera hilang rasanya.
"Di mana Rama?" Bima tanya balik. Matanya mengarah ke teman-temannya.
Seketika diam. Semua santri ikut mencari-cari di dalam kelas. Hilang.
"Kan terakhir tadi sama kamu, Bim." ucap Ilyas mulai panik.
"Iya, tadi dia tidur soalnya wajahnya pucat banget."
"Coba lihat di poskestren, barangkali dia tidur di sana." ujar salah satu santri.
Bima dan Ilyas segera lari menuju poskestren. Mereka tidak peduli dengan santri-santri yang menatapnya heran persis seperti melewati patung di pinggir jalan. Sesampainya di poskestren, ternyata semua kasur kosong. Di dalamnya hanya ada satu orang, perawat laki-laki yang sudah lima belas tahun tinggal di pesantren. Ia menoleh ke arah Bima dan ilyas dengan mata asing. Sementara Bima dan Ilyas sama sekali tidak menyapa atau minimal tersenyum kepada penghuni poskestren. Mereka mencari dengan mata jelinya. Setelah dilihat ternyata nihil, mereka segera mencari tempat lain untuk menemukan Rama.
Kamar, halaman, perpustakaan, kantin, kamar mandi, mushola, aula, semua sepi dari orang yang sedang mereka cari. Mereka beristirahat di kursi kantin sambil memesan es teh manis lengkap dengan plastik dan sedotannya. Keduanya hanya berdiam. Mengatur napas. Sesekali menyeruput es teh manisnya. Membasahi tenggorokan yang kering terkena angin selama mereka berlarian. Cadangan keringatnya hampir habis. Rambutnya basah dan bau kecut terhempas dari bajunya. Dengan waktu yang sangat singkat, es teh itu habis tanpa sisa setetes pun. Andaikan mereka disediakan sepuluh gelas es teh jumbo, mungkin saja akan habis dalam waktu lima menit.
Seperempat jam mereka hanya duduk sambil meneliti tempat mana lagi yang belum mereka kunjungi. Mereka merelakan jam pelajarannya hanya untuk mencari Rama yang tidak tau sedang apa. Meski ia sudah nyaris pasrah, tapi mereka belum ingin lapor ke keamanan atau pengurus pondok lainnya. Mereka yakin Rama akan menampakkan batang hidungnya sebelum matahari meninggalkan sebercak sinarnya. Tapi juga tidak lepas dari pikiran-pikiran yang menggelikan: Apakah Rama kabur dari pondok? atau hilang diculik orang yang tidak dikenal? atau diculik hantu penunggu pondok? ah, atau justru malah sedang molor di dalam bedug mushola.
"Mau ke mana lagi, Yas?" tanya Bima lemas. Langkahnya seperti orang yang tidak memiliki tulang pada kakinya. Semua makanan yang masuk ke dalam perutnya sudah menjelma menjadi tenaga dan habis digunakan untuk berlarian yang tidak ada hasilnya.
"Masa Rama ke rumah pak yai?" Ilyas menebak tanpa berpikir terlebih dulu. Sebab, mana mungkin santri berani ke rumah pak yai tanpa ada kepentingan apapun. Bahkan misal ada kepentingan pun kalau sendiri tidak akan mungkin berani. Toh, misal berani pun seluruh tubuhnya akan bergetar seperti terkena es satu kulkas.
Keduanya menyetujui kalau tebakan itu mustahil dilakukan Rama sebagai santri baru. Mereka terus berjalan menuju kelas dengan lemas. Entah lemas gara-gara tidak ingin mengikuti pelajaran, atau kecewa tidak menemukan batang hidungnya Rama, si anak aneh itu.
"Eh, sebentar, Bim," Ilyas berhenti. Menatap ke depan layaknya orang yang baru dicegat sekelompok penjahat. Ia segera menoleh ke arah Bima yang masih melongo dan berhenti mengikuti arahan Ilyas, "Ada satu tempat yang belum kita lihat."
Bima menggerakkan kepalanya sebagai isyarat bertanya di mana tempat itu.
"Maqbaroh..."
Bima refleks menegakkan kepalanya. Seluruh tenaganya kembali seperti semula. Tulang-tulangnya terpasang lagi. Malaikat tiba-tiba menumpahkan tenaga ke tubuh Bima sehingga ia tampak segar dan siap untuk lari ke makam pendiri pondok. Tanpa ada aba-aba, mereka segera lari dengan kompak. Mereka tidak sabar dengan apa yang akan ditemukan di makam pendiri pondok.
Dari kejauhan, gerbang pemakaman pendiri sudah terlihat. Tertulis 'Maqbarah pendiri dan dzuriyyah pondok pesantren'. Pagar berwarna hijau mengelilingi pemakaman itu. Cukup luas. Di ujung barat terdapat tempat khusus untuk jamaah yang ingin berziarah di situ. Tidak hanya jamaah dari luar, tapi para santri juga sering berkunjung di sana entah untuk berziarah atau hanya untuk menghafalkan hafalannya. Pohon-pohon di sampingnya cukup banyak dan besar. Tempatnya bersih karena setiap hari pasti ada yang piket membersihkan dedaunan yang habis usianya.
Bima dan Ilyas berhenti di gerbang. Menarik napas sembari mengamati sekitar makam. Satu per satu diselidiki dengan mata menyidik layaknya intel yang sedang mencari tersangka kriminal. Mereka masuk ke dalam pemakaman. Berhati-hati dan tidak lupa melangkah dengan sangat sopan. Di pojok dekat deretan meja, di samping lemari tempat buku tahlil dan yasin, ada orang yang tergeletak tidak berdaya. Keduanya segera mendekat dan tepat! Seperti yang mereka harapkan. Rama tergeletak seperti sudah pisah dengan nyawanya. Mukanya lebih pucat daripada saat di kelas. Untung napasnya masih keluar dari hidungnya. Matanya terpejam. Bima dan Ilyas tidak membahas kenapa Rama bisa sampai di makam. Apalagi dalam keadaan tidur, atau pingsan. Ilyas segera lari mencari bantuan, sementara Bima masih termenung tepat di samping Rama yang tidak kunjung sadar. Sesekali Bima menggoyang-goyangkan tubuh Rama, barangkali nyawanya akan pulang ke tubuhnya. Bima meneliti tubuhnya, memastikan napasnya, menyentuh detak yang ada di pergelangan tangannya persis seperti dokter spesialis yang sedang memeriksa pasiennya. Sejenak setelah Ilyas mencari bantuan, akhirnya ia membawa sembarang santri yang ia temukan. Tanpa basa-basi, mereka mengangkat Rama dengan berat tubuh orang dewasa.