"Berarti itu kesurupan pertama kalinya, kang?" tanya salah satu temannya yang sudah mulai merasa pegal.
Rama mengangguk.
"Kang Ilyas juga di situ?"
"Iyalah, aku yang pegang tangannya." jawabnya dengan nada sombong.
"Terus lurah pondok dipanggil Yai Rozi disuruh ngapain?"
"Kurang tau aku, tapi kayaknya bahas Rama." mata Ilyas melirik Rama. Rama membalasnya dengan menggerakkan pundaknya.
"Astaghfirullah, sudah jam 5," Rama melihat jam dinding kamarnya dengan panik, "kita belum shalat lho..."
Semuanya ikut melihat jam yang diam di tempatnya.
"Nanti dilanjut setelah shalat ya, kang."
"Mau mandi, terus shalat maghrib."
"Habis maghrib, kang." yang lain menimpali.
"Aku ada jam mengajar."
"Ya sudah malam ini yang penting, masih penasaran ini, kang. Ceritanya masih gantung."
"Yang penting siap kopi, syukur-syukur ada rokoknya." Rama tersenyum puas.
"Beres..."
Mega merah di atas pondok pesantren memancarkan keindahannya. Beribu santri berbondong-bondong membawa kitabnya. Lambaian sarung terhempas angin ketika melangkah lebih romantis dari sepasang kekasih yang sedang bercumbu rayu di taman. Sebagian mereka masih membahas berita yang sedang trending topik. Mulut-mulut berceceran merangkai puluhan cerita yang berbeda-beda. Hal mistis selalu mencari cerita yang paling menyenangkan bagi para santri. Apalagi dengan bukti kejadian yang baru saja menimpa salah satu santri yang kemasukan makhluk ghaib. Peristiwa itu membuat Rama ingat sekaligus penasaran dengan makhluk yang sudah lama tidak mengganggunya.
"Masa kamu belum melihatnya, Ram?" tanya Ilyas sambil berjalan menuju kelas yang akan diajar.
Rama menggeleng. Matanya menunjukkan akalnya juga sedang berpikir yang sama dengan Ilyas.
"Kemampuanmu kan masih ada to?"
"Masih, indigo itu tidak mungkin hilang, Yas. Tapi berkurang itu mungkin saja."
"Jadi?" Ilyas memastikan, "Kemampuanmu sudah berkurang?"
"Tidak tau, Ram. Aku masuk dulu."
Keresahan dan kebingung yang saat ini Rama rasakan. Bagaimana mungkin Rama belum mengetahui jelas dengan makhluk yang merasuki santrinya. Ia pun ragu dengan makhluk itu. Apakah masih sama dengan yang dulu atau sudah berbeda. Dengan begitu, Rama tetap selalu mengingatkan kepada para santri agar tidak mudah melamun dan melakukan hal-hal yang kurang baik.
"Sekarang, Kang?" tanya Rizal sedikit menagih. Ia sudah duduk rapi di tempatnya. Pakaian santai juga sudah terpasang di tubuhnya.
"Lha mana Azhar sama Prabu? Mereka tidak ikut?" Rama duduk di kasurnya. Sesekali menatap jam yang bergerak seperti biasanya.
"Azhar bikin kopi, Prabu beli rokok." jawab Rizal sembari merapikan tempatnya yang akan digunakan sebagai ladang cerita.
Rama dan Ilyas tertawa lepas. Rasanya sangat senang menjahili para juniornya. Hanya membayar dengan cerita-ceritanya sudah mendapatkan rokok dan kopi gratis.
***