Sudah tidak waktunya lagi merengek seperti anak kecil yang baru saja menapakkan kakinya di tanah. Tidak pantas menangis gara-gara takut dengan gelapnya malam. Apalagi mengeluarkan air mata yang mahal ini gegara pertemanan. Basi. Waktunya mencari tau manfaat sebenarnya tentang kelebihan yang dimiliki Rama. Selama ini hanya sebatas bayang-bayang yang tidak tau apa kegunaannya. Lebih-lebih hanya menjadi pengganggu kesehariannya dan membuat gelisah diri Rama. Memang benar kata orang tua Rama pada saat sebelum mengantarkan Rama di pondok. Hidup di pondok pesantren adalah latihan mandiri, latihan berpikir dewasa. Berupaya untuk mencari solusi dengan akalnya sendiri. Latihan bertarung melawan lezatnya kehidupan dunia luar.
"Ada keperluan apa memanggil saya, kang?" tanya Rama duduk bersimpuh penuh dengan kesopanan. Kamar yang tidak begitu luas, tapi istimewa bagi para santri. Meski tidak seindah kamar hotel atau seluas kamar vila, tapi kamar lurah pondok adalah tempat yang jarang dimasuki para santri. Sederhana tapi tetap diidam-idamkan oleh para santri.
Rama duduk persis di hadapan lurah pondok. Di sampingnya terdapat rak yang berisi puluhan kitab. Di sisi kirinya almari setinggi tubuh orang dewasa dan berisi pakaian. Di sudut kamar juga ada rak lagi yang hanya terdapat beberapa hasil prestasi dari lurah pondok selama masih nyantri; piala, piagam penghargaan, medali emas maupun perak. Di sela-selanya juga ada bunga yang terbuat dari plastik jadi tidak pernah layu meski tidak disiram beberapa bulan pun.
Dinding yang cukup menawan. Tertempel poto pendiri pondok dan pengasuh pondok membuat kamar itu semakin berwibawa. Apalagi ditambah dengan adanya lukisan kaligrafi karya lurah pondok itu sendiri. Cukup multitalenta: lancar membaca kitab kuning, kutu buku, mahir melukis kaligrafi, berprestasi, dan yang paling membuat iri adalah cukup dekat dengan pak yai karena dipercaya sifat kepemimpinannya. Siapa santri yang tidak menghormati lurah pondok.
"Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu, Ram." jawabnya. Lelaki bertubuh kurus dan tinggi. Kulitnya seperti kebanyakan orang Indonesia, coklat langsat, tapi matanya lebih pada orang cina, sipit.
"Iya, kang?" Rama menjawab dengan sopan.
"Waktu kamu baru saja masuk di sini, aku dipanggil pak yai," mulai bercerita tanpa berlama-lama, "di rumah pak yai sudah ada bapak kamu."
Rama menegakkan kepalanya, lalu menurunkannya lagi.
"Aku sudah mendengar semua tentangmu, Ram. Bapakmu banyak sekali cerita tentang kelebihan yang kamu punya. Memang di luar sana cukup banyak yang memiliki kemampuan seperti itu, tapi seingatku di pondok sini baru kamu." berhenti sejenak. Melepaskan kacamata yang dipakai, mungkin mengganggu kenyamanannya. Sementara Rama masih mendengarkan dengan saksama walaupun dia juga belum tau tujuan lurah pondok membicarakan itu.
"Makanya aku tidak heran waktu kamu kesurupan pertama kali di tangga itu. Apalagi sampai sejauh ini, sudah berapa kali kamu kemasukan semacam itu? 10? 15?" mencoba menebak.
"Lebih, kang." Rama mengoreksi. Dirinya pun lupa tepatnya sudah berapa kali.
"Nah, menurutku kamu sudah mulai terbiasa dengan lingkungan pondok sini. Jadi aku minta setiap terjadi hal-hal aneh di pondok, kamu bisa langsung bilang sama aku. Apalagi menyangkut para santri ataupun tentang pondok secara umumnya."
"Nggeh, kang."
"Aku tidak punya kemampuan seperti kamu, indigo," lurah pondok menegaskan agar Rama tidak mengira tentang dirinya, "Aku hanya diamanahi sama pak yai agar menjaga para santri. Termasuk khususnya kamu."
Rama hanya diam. Dalam hatinya bertanya-tanya kenapa harus dijaga. Membuat gundah para santri kah? Membuat tidak nyaman lurah pondok kah? Atau malah menghilang dari pondok karena diculik makhluk ghaib?
"Sebenarnya bukan menjagamu," lurah pondok mengoreksi perkataannya. Seakan mendengarkan apa yang dikatakan Rama dalam hatinya, "lebih tepatnya menjadi telinga ketika kamu mau cerita kejadian-kejadian yang menimpamu di sini, agar nanti aku sampaikan ke pak yai. Aku tau ketika di rumah, kamu selalu didampingi ayahmu. Tapi di sini, aku sebagai pengganti ayahmu. Jadi, bilang saja kalau ada apa-apa, Ram."
"Nggeh, kang."