Pagi yang cerah. Air hujan tadi malam masih menyisakan di pepohonan dan benda lainnya. Tapi untuk langit kali ini benar-benar biru, seakan balasan cuaca tadi malam diganti pagi ini. Derasnya air hujan melahap ranting pepohonan di sekitar pondok. Daun-daun berguguran. Lingkungan pondok menjadi lebih kotor dari biasanya, membuat kebersihan pondok mengeluarkan dua kali lipat tenaganya. Namun, para santri lebih terlihat segar. Bukan karena sehabis mandi atau cuaca yang cerah, tapi tadi malam mereka lebih lama tidurnya dari biasanya. Terkecuali dengan Rama, Bima, dan Ilyas: wajahnya sayu, matanya lebam seperti habis dikeroyok sekelompok preman, warnanya merah, tubuhnya lemas, rasa kantuk menjajah dirinya.
"Kamu yakin mau ke lurah pondok?" Ilyas memastikan.
"Sebenarnya ada apa to, Ram?" Bima semakin penasaran dengan kejadian akhir-akhir ini. Apalagi dia yang lebih sering diganggu daripada Ilyas yang jarang sekali, bahkan bisa dibilang tidak pernah.
Ketiga santri itu masih diam. Ragu. Di tangan Rama membawa tas kecil yang isinya kain yang masih menjadi misteri.
"Aku indigo." Rama memecahkan keheningan. Matanya masih menatap taman. Polos. Suaranya nyaris tidak terdengar.
"Haaa?" Ilyas yang merespon pertama kali. Ia menoleh ke sekitarnya memastikan tidak ada yang mendengarkan kecuali dirinya dan Bima, "yang benar, Ram?"
"Indigo itu yang bisa melihat setan itu to?" Bima memastikan. Matanya membola.
Rama mengangguk.
"Berarti?" Ilyas masih menagih penjelasan dari Rama.
"Ya, aku dari lahir dikaruniai tuhan mampu melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat," Rama mulai cerita. Menggeserkan duduknya agar lebih nyaman. Matanya menatap kedua temannya, "Awalnya aku takut, lama kelamaan yang sudah biasa karena memang selalu didampingi sama bapakku. Nah, pas awal mondok ke sini, aku tenang karena anggapanku pondok akan terbebas dari hal-hal ghaib, tapi ternyata perkiraanku salah besar. Di pondok ternyata juga ada dan tidak hanya satu."
"Ya benar saja, Ram. Di sampingku sekarang ada tidak?" Bima memotongnya. Matanya meneliti sebelahnya barangkali ada penampakan.
"Haisss, apa sih, Bim. Diam dulu." sahut Ilyas, "terus, Ram?"
"Kamu ingat aku dulu pernah tiba-tiba pingsan, atau hanya sekadar pucat, atau waktu pertama kali aku kerasukan di tangga, dan akhirnya aku sering banget kesurupan? Itu gara-gara aku melihat makhluk ghaib." Bima dan Ilyas hanya mengangguk. Wajahnya menandakan kelegaan seakan sebuah kasus yang baru saja terpecahkan. Di sisi lain, mereka berdua juga terheran-heran karena baru kali ini mereka memiliki teman yang indigo. "Tapi anehnya, Bim, Yas, makhluk yang sering muncul itu tidak macam-macam jenis, hanya itu itu saja. Wajahnya memang pucat, terlihat tua dan ada jenggotnya, tapi pakaiannya itu berjubah, Yas. Serba putih. Aku melihat tidak hanya satu kali."
"Tidak ada yang lain, Ram?"
"Ada, cuma sekali dua kali saja, yang paling sering hanya makhluk berjubah itu."
"Kamu tau tujuan dia menampakkan diri, Ram?"
"Nah itu yang baru aku cari tau, Yas. Awalnya aku kira hanya sekadar menampakkan diri saja, tapi makin ke sini sepertinya ada yang aneh."
"Aneh bagaimana, Ram?" Bima semakin serius. Matanya tidak lepas dari gerak-gerik Rama di hadapannya.