Santri Tak Kasat Mata

Hanif Hilmi Ali
Chapter #7

Bagian 7

"Jadi ke lurah pondok?" tanya Bima sepulang sekolah.

Rama menggelengkan kepalanya. Ia menaruh tas kecilnya yang berisi kain di dalam almari. Rama merasa tidak menjadi solusi kalau hanya sekadar dilaporkan ke lurah pondok, toh lurah pondok juga akan bertanya balik tentang tujuan atau kenapa makhluk itu selalu menampakkan dirinya. Ia justru ingin langsung ke pak yai karena kemungkinan besar hanya pak yai yang bisa membantu memecahkan kegelisahan Rama, tapi ia belum cukup berani untuk menghadap ke pak yai sendirian. Ditemani kedua temannya pun sama saja, sama sama takut.

Aroma telur dadar bikinan Ilyas memang tidak ada bandingnya. Harumnya menabrak hidung Rama yang baru saja di dapur. Waktu-waktu selepas kegiatan malam memang rawan lapar di kalangan para santri. Mereka sekreatif mungkin mencari makanan untuk disantap. Dapur pondok adalah salah satu tempat tujuan utama bagi santri yang perutnya dilanda suara gemrucuk. Di dapur memang menyediakan dua kompor gas dan alat penggorengannya. Bahan-bahannya tentunya para santri dibawakan oleh orang tuanya dari rumah, hanya khusus untuk masak ketika lapar saja.

"Bima mana, Yas?" tanya Rama sembari menatap nasi di atas nampannya. Sesekali melirik Ilyas yang sedang fokus dengan penggorengannya.

"Katanya mau nyusul, tidak tau ke mana."

Rama hanya mengangguk. Ia tau Ilyas paling tidak mau diganggu kalau sedang bercumbu rayu dengan masakannya. Tidak tau ada keturunan dari orang tuanya atau tidak, yang jelas Ilyas mahir sekali dalam hal memasak. Mungkin bisa saja memenangkan kejuaraan nasional memasak kalau dia mau.

Tempat yang serba hitam, bukan karena cat tapi dapur adalah pusat asap di pondok pesantren. Asap yang setiap hari keluar dan sebelum terbang ke langit pasti akan menabrak atap dan genteng sehingga membuat semuanya berwarna hitam. Kebetulan hanya berdua yang sedang di sana. Ada satu kelompok santri lagi yang mau memasak, tapi hanya mengantri dari kamar. Sengaja bergantian kalau Rama dan Ilyas sudah menyelesaikannya.

Tumpukan kayu seperti gunung di sebelah tempat mereka memasak. Di sudut dapur banyak sekali sisa alat yang masih kotor karena habis dipakai dan belum dicuci oleh petugas dapur. Asap keluar terus dari bara yang masih terlihat seperti neraka. Sesekali Rama menatapnya tanpa berpikir apa-apa. Kadang juga melihat Ilyas yang sedang sibuk membolak-balikkan masakannya. Rama memang hanya duduk seperti raja karena tugas dia sudah selesai; menata nasi di atas nampan. Bukan karena Rama tidak mau membantu Ilyas, tapi justru Ilyas tidak suka diganggu. Mungkin ia menganggap orang yang membantu malah mengganggu dan bisa mempengaruhi rasa masakannya.

Rama merasa aneh. Asap yang sedari terbang hanya ke satu lubang seperti ada angin yang menggiring ke sana. Ia terus memandangnya. Matanya jeli. Rama mengerutkan dahinya. Berdiri dan mendekati asap yang aneh itu. Matanya hanya berpusat pada asap. Semakin ditatap semakin jelas kalau asap itu seperti ada yang menggerakkan. Lehernya mulai tebal. Bulu yang ada di tubuhnya tanpa disuruh mereka berdiri sendiri. Ya! asap itu membentuk makhluk berjubah. Mata Rama semakin tajam menatapnya.

"Woyyy!" Ilyas menepuk pipi Rama. Hilang. Semua keanehan itu seketika pudar. Rama mengusap-usap matanya memastikan ia sedang melamun atau memang nyata. Rama berputar seperti sedang mencari sesuatu yang hilang, "ada apa? Melamun, kesurupan lagi nanti."

Lihat selengkapnya