"Kamu yakin ini tiba-tiba di tanganmu?" tanya Ilyas sambil menunjuk kain kafannya.
Rama mengangguk mantap. Ia tampak bingung, baru kali ini berkomunikasi dengan makhluk ghaib meski hanya lewat mimpi. Apalagi tiba-tiba ada benda di tangannya. Ia kira hanya ada di film-film saja, tapi ternyata sekarang terjadi pada dirinya.
"Nanti sore kita mengajak lurah untuk sowan pak yai, Ram?"
"Kamu yakin itu akan berhasil?"
"Belum kita coba, tidak ada yang tau, Ram."
"Tapi kesimpulan kita kurang masuk akal, Yas," Rama tampak ragu. Kepalanya disandarkan pada kedua telapak tangannya. Pasrah. Otaknya terasa sangat panas. Mungkin kalau bisa terlihat akan keluar asap dari ubun-ubunnya.
"Tidak ada lagi selain itu, Ram."
"Masa iya sih, Yas. Makhluk itu siapa kok berani-beraninya bilang seperti itu? Apa hubungannya dengan peraturan pondok."
Ilyas menggerakkan pundaknya. "Ya sudah, nanti sore kita ke lurah pondok, aku temani."
Sore hari yang lumayan cerah. Langit biru bermandikan awan putih yang bersih. Cahaya matahari masih menyapa dengan kegigihannya. Hembusan angin yang lembut selembut kulit bayi. Sementara dedaunan yang mulai kering jatuh satu per satu bersatu dengan tanah. Santri-santri mencoba menikmati dengan berbagai macam kegiatannya; Bermain sepak bola, duduk bercengkerama, menyendiri sambil membawa kitab nadzomnya, ada juga yang hanya jalan-jalan tidak tau arah.
Rama dan Ilyas berjalan pelan dengan pakaian yang necis. Sarung bermotif melambai-lambai terkena angin. Berjalan berdampingan layaknya seorang pahlawan yang gagah pemberani, padahal jantungnya cukup dibuat bekerja keras gara-gara secarik kain kafan yang menyebalkan. Langkah kakinya berjalan dengan gesit begitu juga dengan pikirannya. Memutarnya untuk merangkai sebuah kalimat yang akan disampaikan kepada lurah pondok seperti mahasiswa yang akan menyampaikan hasil penelitiannya.
Ilyas menyenggolkan lengan tangannya ke tubuh Rama sebagai kode untuk segera memulai percakapannya. Rama menyodorkan dua kain kafan yang sudah ia siapkan. Keduanya saling tatap, lalu memandang lurah pondok sambil menunggu responnya.
"Apa ini, Ram?" lurah pondok akhirnya bertanya sembari membolak-balikkan kainnya. Matanya menyelidiki dengan teliti. Mengerutkan dahinya. Ia paham kalau itu sebuah kain putih yang ada tulisannya, tapi belum paham apa maksud Rama menyerahkan kepadanya.
Ilyas mengangguk menatap Rama. Meyakinkan agar cerita dari awal dan menyampaikan hasil diskusi mereka berdua. Rama mulai bercerita semua kejadian yang pernah menimpa dirinya dan teman-temannya. Menjelaskan juga kenapa ada kain kafan aneh itu. Ia juga mengutarakan hasil kesimpulan dirinya tentang semua kejadian yang ada di pondok yang berkaitan dengan makhluk berjubah. Sampai kejadian terakhir yaitu kecelakaan yang menimpa Bima dan tentang mimpinya Rama. Ia cerita secara rinci dan detail, tidak ada sedikitpun yang tertinggal. Semua yang sudah dipersiapkan di pikirannya akhirnya keluar semua di hadapan lurah pondok.
"Berapa kali makhluk itu menemuimu, Ram?" lurah pondok mulai tertarik dengan cerita Rama.
"Tidak terhitung, kang."
Lurah pondok hanya mengangguk. Sesekali membolak-balik kain kafan itu lagi. Berpikir keras.
"Kamu yakin semua kecelakaan yang menimpa teman-temanmu saat melanggar peraturan pondok ada hubungannya dengan makhluk berjubah ini?"
"Hanya perkiraan saya saja, kang."
"Ya sudah, tak ganti baju. Kita sowan pak yai."
Bangunan yang paling berkarisma di pondok. Rumah dua lantai bercat hijau dengan warna dasar putih. Halaman rumah terdapat berbagai macam bunga. Dua pohon mangga menjulang tinggi. Di sudut rumah paling kanan terdapat gazebo yang terbuat dari kayu Jepara. Biasanya digunakan kalau pak yai kedatangan tamu temannya atau siapa saja yang hanya sekadar ngobrol ringan. Lurah pondok diikuti Rama dan Ilyas berhenti di pintu rumah. Menunggu santri ndalem membukakan pintu dan mempersilahkan masuk.
"Assalamualaikum." ketiga santri itu masuk dengan sopan.
Ruang tamu yang cukup luas. Semua orang yang masuk langsung disambut dengan almari yang penuh dengan kitab. Ratusan kitab tertata rapi di sana. Di sela-sela setiap rak bukunya ada beberapa hiasan mata; penghargaan, bunga dari plastik, dan piala. Lantai dengan karpet mewah. Di atasnya tertata rapi serba-serbi makanan yang setiap hari sudah disiapkan di situ. Tentunya santri ndalem yang selalu mengecek dan merapikan tempatnya. Memang itu salah satu tugas santri ndalem. Dindingnya pun tertempel gambar para 'ulama, salah satunya pendiri pondok dengan gambar yang tidak begitu jelas karena zaman dulu tidak ada gambar yang jernih seperti sekarang. Tulisan kaligrafi besar juga memenuhi dinding itu sehingga semakin sempurna untuk sebuah ruang tamu.
Lurah pondok, Rama, dan Ilyas menunggu sekitar lima menit. Sembari menunggu, Rama dan Ilyas membaca judul-judul kitab dari kejauhan. Mereka hanya menggelengkan kepalanya melihat begitu banyaknya kitab. Entah mereka akan mampu menyelesaikan semuanya atau tidak. Mereka yakin kalau pak yainya sudah memakan habis semua kitab yang dimiliki. Belum selesai menyelesaikan semua judul kitabnya, Pak Yai Anwar datang dari dalam.
Sangat berwibawa. Sarung batik warna coklat dengan baju warna putih, sungguh perpaduan yang sempurna. Peci hitam menutupi rambut yang lebih banyak warna putihnya. Kulitnya sudah mulai keriput tapi tidak mengurangi kehormatannya. Justru di usia senja ini, Pak Yai War semakin gagah dan bijak. Duduk di hadapan ketiga santrinya yang menunduk tanpa menatap sedetik pun. Meloloskan rokoknya yang selalu siap di sana.